Having a plan is the best way to make a life change. It's the difference between a goal and a wish

Selasa, 26 April 2011

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Nasional Sebagai Budaya Unggul Di Media Massa Dalam Menghadapi Globalisasi: Analisis Semiotika Terhadap Tayangan "Unyil" di TVRI dan Trans 7

(Karya Tulis Ilmiah, peringkat I dalam Lomba Mawapres (Mahasiswa Berprestasi) tkt Kopertis Wil.III. 2007)

BAB I


A.    Latar Belakang Permasalahan
Globalisasi datang dalam beragam bentuk dan tidak lagi terbatas pada satu polar. Barat bukan satu-satunya pusat asal globalisasi tetapi negara-negara yang semula berada di posisi pinggir tampil memberi warna pada proses globalisasi dunia.[1] Tak pelak lagi, globalisasi sungguh telah membawa konsekuensi multidimensional terhadap berbagi aspek kehidupan masyarakat. Tidak hanya konsekuensi ekonomi dan politik, tetapi juga konsekuensi sosial-budaya bahkan dapat terjadi pembasmian budaya lokal secara bersamaan. Bahkan jejak globalisasi telah memasuki ranah kehidupan pribadi keluarga kita dimana kita seolah tak kuasa lagi membendungnya. Budaya populer sebagai salah satu tanda utama globalisasi tersentral produksi budaya populer di antara Bollywood, Tokyo, atau Hong Kong. ”Shrek” harus bersaing dengan ”Doraemon”; Brad Pitt berhadapan dengan Jet Li.

Nilai-nilai budaya yang datang bersama arus globalisasi multipolar ini pun mengalami transformasi. Makanan India makin mendapatkan apresiasi tinggi di Inggris dengan meluasnya penerimaan dan konsumsi budaya populer India oleh warga Inggris. Demikian pula halnya di Indonesia. Sub-kultur Harajuku asal Jepang turut memberikan andil besar dalam gaya hidup para artis Indonesia yang kemudian mengubah konsumsi budaya populer dari dominasi Barat ke Jepang di masyarakat Indonesia pada umumnya. Kini setiap orang dapat mengadopsi atau meniru budaya apa saja secara taken for granted tanpa diliputi rasa sungkan. Pola ini telah menjadi biasa dan kian nyata berlangsung dalam masyarakat kita.

Televisi sebagai salah satu medium utama globalisasi dan unsur penting budaya populer memberikan kontribusi besar dalam perubahan nilai-nilai budaya dan ajang peniruan budaya  ini. Gaya berbusana Harajuku ala Duet Ratu atau Londoners ala Nidji mau tidak mau memberikan sumbangan pada perubahan budaya berbusana dalam masyarakat. Dalam skala yang lebih besar, sumbangan nilai-nilai budaya yang disuguhkan tayangan semacam ”Doraemon” atau ”Transformers” bisa memiliki pengaruh besar dalam budaya Indonesia secara keseluruhan.

Melalui media televisi, pesan-pesan yang disampaikan dapat dirancang secara menarik dan memudahkan masyarakatnya menikmati serta mencerna pesan-pesan tersebut. Televisi merupakan salah satu jenis media audiovisual. Sifat dari media ini adalah dapat didengar dan dilihat serta memiliki daya rangsang yang sangat tinggi. Televisi merupakan alat komunikasi. Televisi dalam menyajikan programnya seharusnya mempunyai muatan-muatan pesan sosial dan menjaga budaya pertiwi. Sebagai alat komunikasi, televisi dijadikan media untuk menyampaikan pesan kebudayaan negeri kepada masyarakat. Pesan tersebut didapat dari keseharian problem riil yang dihadapi masyarakat atas globalisasi. Televisi, seperti halnya media massa lain, surat kabar dan radio sebenarnya bebas nilai. Artinya, efeknya bergantung kepada materi yang disiarkannya. Tanggung jawab televisi tercermin pada fungsi-fungsi informasi (to inform), mendidik (to educate), dan menghibur (to entertain), bahkan sekarang fungsi yang lebih menonjol adalah fungsi mempengaruhi (to influence). Akan tetapi, atas nama globalisasi media massa (televisi) termasuk juga media cetak telah kehilangan sekat-sekat pembatas.

Di sisi lain, Indonesia masih merupakan konsumer tinimbang produser budaya populer yang signifikan. Produk budaya hasil rekayasa anak bangsa dianggap terbelakang, kuno, atau tidak trendi akibat pengaruh globalisasi dan keterpanaan terhadap yang asing. Akibatnya, tayangan ”Unyil”[2], misalnya, yang sangat mendominasi imajinasi anak-anak pada dua dekade lalu tergeser oleh produk-produk budaya populer asing. Semangat komunalisme dan gotong royong yang kerap disajikan ”Unyil” tersingkir oleh aneka games atau tayangan anak-anak yang mengedepankan individualisme dan kekerasan. paradigma modernisasi tersebut telah bergeser dari rasionalisasi, menjadi westernisasi, bahkan irasionalisasi.

Namun tidak berarti bahwa semua produk asing merupakan hal yang buruk. Yang perlu menjadi sorotan adalah bagaimana produk budaya populer dalam negeri bisa kembali merebut hati di antara warga negerinya sendiri atau bahkan memiliki kemampuan untuk bersaing di dunia internasional. Dan yang lebih penting tidak berarti kita harus ”pasrah” dengan apa kata globalisasi. Dengan kata lain, globalisasi sejatinya membuka kemungkinan bagi setiap negara untuk tampil menjadi salah satu kutub dari proses globalisasi yang multipolar itu. Makalah ini berkeyakinan bahwa kita bisa menjadi sebagai salah satu polar produksi budaya populer setara dengan Hollywood, Bollywood, Tokyo, atau Hong Kong. Sehingga perlu adanya semacam revitalisasi budaya dengan harapan nantinya akan dapat diaplikasikan dalam perilaku individu dalam lingkup keluarga, komunitas ataupun  masyarakat secara luas. Pengajaran atau sosialisasi nilai budaya terhadap generasi tersebut  akan mempermudah proses internalisasi nilai budaya ke dalam tata perilaku masyarakat kita sehingga menumbuhkan daya saing bangsa dan masyarakat Indoensia.

B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari paparan latar belakang masalah di atas dan wujud keperdulian penulis dan kecintaan terhadap nilai budaya nasional sebagai budaya unggul, maka penulis merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana ”Unyil” yang memuat nilai budaya nasional dapat direvitalisasikan sebagai budaya unggul (culture of excellence) untuk mampu meningkatkan daya saing bangsa di tengah deras arus globalisasi?

C.    Tujuan Penulisan 

1.      Memberikan masukan alternatif dalam memproduksi program televisi yang bermuatan budaya unggul;
2.      Mengetahui nilai budaya unggul yang terkandung dalam program tayangan ”Unyil”;
3.      Memberikan gambaran minimnya tayangan yang bermuatan lokal seperti ”Unyil” di ranah pertelevisian Indonesia dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia;
4.      Memberikan dampak yang positif kepada insan pertelevisian bahwa tayangan yang bermuatan lokal mampu menjadi unggul dalam daya saing bangsa maupun dalam kancah internasional;
5.      Mengetahui bagaimana revitalisasi budaya unggul tersebut melalui televisi mampu meningkatkan daya saing bangsa.

D.    Manfaat
1.      Kegunaan akademik. Hasil penulisan diharapkan dapat memperkaya studi-studi komunikasi massa;
2.      Kegunaan praktis-pragmatik. Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan masukan kepada insan pertelevisian, Komisi Penyiaran Umum, pemerintah dan masyarakat dalam upaya melahirkan program-program bermutu;
3.      Kegunaan sosial. Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan masukan atau penawaran kepada masyarakat agar “melek media dan budaya” sehingga masyarakat dapat selektif dalam melihat perkembangan program dan tayangan televisi.


BAB II


Dalam penelitian dan analisis untuk karya ilmiah ini, penulis menyadur beberapa teori dan beberapa konsep yang dianggap relevan untuk penulisan ilmiah ini sebagai berikut:

A.    Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.[3] Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan  (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda.[4]

Perlu digaris bawahi adalah bahwa semiotika itu sebagai ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda, berfungsinya tanda, dan produksi makna. Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Semua tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain.[5]

Keberadaan komunikasi visual sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari. Tak bisa lepas dari sejarah manusia, karena komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada waktu tertentu. Perwujudan dari apa yang ditandai kemudian akan dimaknai oleh masyarakat secara subyektif.

B. Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan-pesan dari komunikator kepada masyarakatnya melalui media massa. Dalam kajian budaya (cultural studies) komunikasi merupakan variasi yang luas dari ekspresi budaya dan forum ritual kehidupan manusia sehari-hari. Stuart Hall, salah seorang pelopor Kelompok Kajian Budaya, menganjurkan bahwa “fokus komunikasi adalah kebudayaan yang hidup, khusus aspek-aspek yang bersumber dari budaya suatu kelompok masyarakat yang mempunyai akses untuk itu”.[6]

Terdapat pandangan mengenai televisi yang dimana merupakan aktivitas industri dan sebentuk teknologi.[7] Televisi bukan semata-mata rangkuman program, meskipun bagi kebanyakan orang yang terpenting dari televisi adalah program yang ditonton. Televisi adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja, kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir manusia tentang dunia. Televisi pada hakekatnya adalah sebuah fenomena kultural, sekaligus medium dimana sepenggal aktivitas budaya menjamah masyarakat di dalam rumah.[8] Televisi penuh dengan representasi stereotipikal (citra, perilaku dan makna) yang dibuat untuk menyederhanakan detail dari program bahkan sesuatu yang klise. Hal ini dilakukan karena ada kemungkinan televisi ingin cepat merebut perhatian dan pemahaman masyarakat. Dengan sudut pandang yang lebih luas, penyebutan pengaruh analisis semiotik terhadap citra (images) atau pengaruh pendekatan kulturalis terhadap kesenangan menonton (viewing pleasure) sebagai contoh kritik yang bisa diterapkan pada media secara keseluruhan dan televisi secara spesifik.

C.    Interaksi Simbolik.
Interaksi simbolik disini adalah dimana seseorang melihat, membaca, dan memahami simbol-simbol yang berada pada orang lain dalam melakukan interaksi. Karya George Herbert Mead -Mind, Self and Society- merupakan pegangan utama penganut teori ini. Masyarakat merupakan himpunan dari perbuatan-perbuatan kooperatif yang berlangsung diantara para anggotanya. Namun demikian, perbuatan kooperatif ini bukan hanya menyangkut proses fisik dan biologis saja, tetapi juga menyangkut aspek psikologis, karena melibatkan proses berpikir. Konsep kooperatif mengandung arti sebagai kegiatan membaca atau memahami tindakan dan maksud orang lain agar dapat berbuat dengan cara yang sesuai dengan orang-orang lain.[9]

Pemikiran bahwa masyarakat merupakan rangkaian interaksi penggunaan simbol-simbol yang kooperatif, pada dasarnya menekankan pentingnya aspek berbagi arti atas simbol-simbol yang digunakan di antara  anggota masyarakat. Dengan demikian interaksi sosial merupakan hasil perpaduan antara pemahaman diri sendiri dan pemahaman atas orang-orang lain.

Herbert Blumer menyatakan interaksi simbolik mempunyai tiga premis yang berkaitan dengan meaning, language, dan thought.[10] Ketiga kesimpulan mengenai penciptaan konsep diri seseorang dan sosialisasinya ke dalam komunitas yang lebih luas. Ketiga premis itu adalah sebagai berikut:
  1. Premis satu, manusia bertindak terhadap seseorang berdasarkan makna (meaning) yang mereka sampaikan kepada orang tersebut. Sementara makna itu muncul dari interaksi sosial;
  2. Premis dua, makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa (language). Dari sinilah muncul istilah interaksi simbolik tersebut. Manusia mempunyai kemampuan untuk mendesain objek yang spesifik, menentukan sebuah tindakan dan menunjuk pada sebuah gagasan yang abstrak;
  3. Premis tiga, pemikiran (thought) merupakan masalah interpretasi. Interpretasi individu terhadap simbol adalah dimodifikasi oleh proses-proses pemikiran  yang dimilikinya. Interaksi simbolik menggambarkan pemikiran sebagai percakapan yang terjadi di dalam diri sendiri (inner conversation).
D.    Teori Fungsional dan Disfungsional
Teori fungsional menyajikan kerangka berpikir mengenai hubungan antara media massa dengan individu dan masyarakat. Apabila ditinjau dari sudut pandang masyarakat bahwa

Media dapat menunjang kesinambungan, pengendalian sosial, keterpaduan dan motivasi dengan secara simbolis mengganjar mereka yang menyesuaikan dengan nilai-nilai sosial, budaya dan ekonomi serta dikatakan berhasil ataupun fungsional ketika sesuai dengan standar nilai-nilai yang dianut tersebut.[11]

Media massa yang memiliki fungsi mempunyai peranan terhadap perubahan sosial budaya. Fungsi pengawasan sosial, korelasi, pewarisan budaya, dan hiburan dari komunikasi massa mempunyai dampak fungsional maupun disfungsional terhadap individu, kelompok dan masyarakatnya.[12] Jadi pemberian informasi melalui media dapat menimbulkan efek yang diinginkan dan yang tidak diinginkan karena adanya berat sebelah dalam proses seleksi atau kesalahan interpretasi. Upaya interpretatif adalah merupakan wujud kontrol sosial. Apabila dampak pesan-pesan dalam media tersebut cenderung ke arah negatif yang tidak diinginkan maka bersifat disfungsional. 

E.     Globalisasi dan Nilai-Nilai Budaya
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.[13]

Aspek-aspek globalisasi memberikan kontribusi pada tekanan dan desakan yang mempengaruhi berbagai budaya dan cara hidup tradisional disebagian besar wilayah di dunia. Globalisasi merupakan proses awal yang perlahan-lahan memunculkan kondisi globalitas baru dengan kualitas dan hasil akhir yang belum pasti. Hal ini dapat diketahui dari pengalaman masa lalu hanya proses transformasi sosial yang cepat mengancam kebiasaan, mendestabilisasi batas-batas lama, serta merusak tradisi-tradisi yang telah mapan.[14]

Globalisasi bukan merupakan fenomena satu-dimensi, namun merupakan proses multi-dimensi yang melibatkan ranah kegiatan dan interaksi yang berbeda-beda, termasuk ranah cultural.[15] Globalisasi berada di jantung kultur modern; praktik-praktik cultural berada di jantung globalisasi.[16] Semakin meningkatnya jaringan kesalingketerkaitan dan interdependensi kultural yang kompleks yang menjadi ciri kehidupan sosial modern, arus kultur global dikendalikan oleh perusahaan media internasional yang memanfaatkan berbagai teknologi komunikasi baru untuk membentuk masyarakat dan jati diri.[17]

Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.[18]



BAB III


A.    Jenis Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah metode kualitatif, jenis analisis wacana[19] dan semiotika. Penulisan ini termasuk jenis penulisan kualitatif. Artinya data yang digunakan merupakan data kualitatif. Sudjana menyatakan bahwa ”data kualitatif adalah data yang dikategorikan menurut kualitas obyek yang dipelajari”.[20] Semiotika adalah studi tentang tanda dan makna dari sitem tanda.[21] Data-data kualitatif tersebut berusaha diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, atau referensi-referensi secara ilmiah.

B.     Sumber Data
Penulis menggunakan tiga bentuk data. Pertama, data primer, yakni pesan-pesan dalam teks televisi (Laptop Unyil) yang berisi muatan budaya lokal sebagai budaya unggul. Berangkat dari asumsi bahwa teks berisi pesan-pesan yang di dalamnya terdapat tanda-tanda sebagai bahan data yang ditafsirkan dan diinterpretasikan.

Kedua, data pembanding, adalah teks lain yang dipergunakan sebagai upaya intertekstual, tidak saja dalam bentuk gambar, tetapi juga dalam bentuk lain yang berhubungan dengan tanda-tanda dalam teks yang tengah dianalisis.

Ketiga, data pendukung, meliputi bahan bacaan guna memperjelas, memperkuat argumentasi juga mengklarifikasi konsep-konsep (ikon, indeks, simbol) dari tanda yang dibahas. Data pendukung dapat dipergunakan karena relevansi dengan konteks pembahasan. Tanda yang bersifat denotatif umumnya bersifat ‘common sense’, artinya secara konvensional sudah disepakati. Tetapi banyak tanda yang sangat unik, bersifat ‘subyektif’ yang lahir dari pemaknaan oleh pengalaman individu. Pemaknaan ganda atau tanda yang bersifat konotatif inilah yang membutuhkan data-data pendukung.

C.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan studi literatur dilengkapi dengan observasi terhadap beragam tayangan televisi.

D.    Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis semiotika.[22]
Jenis analisis semiotika yang dipublikasikan oleh Charles Saunders Peirce ”dimana dikategorikan tanda dalam tiga kategori yaitu ikon, indeks, dan simbol”.[23]

Tabel 1: Trikotomi Ikon/Indeks/Simbol Peirce[24]

Ikon
Indeks
Simbol
Ditandai oleh
Kemiripan

Hubungan-hubungan sebab-akibat
Konvensi-konvensi
Contoh
Lukisan, patung
Asap/api, gejala/penyakit
Kata-kata/isyarat
Proses
Dapat dilihat
Dapat digambarkan
Harus dipelajari

Teknik analisis ini memungkinkan penulis untuk memaknai tanda-tanda yang terdapat dalam televisi untuk membandingkan tayangan-tayangan televisi yang bermuatan lokal ”Unyil” dibandingkan dengan tayangan-tayangan yang  bermuatan internasional sesuai dengan tujuan dari penulisan ini.


BAB IV


A.    Analisis dan Sistesis
Globalisasi, kekuasaan, dan kebudayaan saling terkait satu sama lain. Globalisasi bukan merupakan suatu fenomena monodimensional tetapi multidimensional sehingga faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya jalin mengelindan. Globalisasi kultural kerap ditafsirkan sebagai suatu homogenisasi kultural dalam bungkus westernisasi, Amerikanisasi, McDonaldisasi,[25] atau McWorldisasi.[26] Globalisasi demikian kerap berarti hilangnya budaya lokal dan penyeragaman budaya (dengan McDonald, McIntosh, dan MTV) maupun berjayanya imperialisme kultural.

Akan tetapi, globalisasi dalam kenyataannya bukan merupakan gerakan satu arus dan tidak terbatas pada satu polar. Telenovela dari Amerika Latin yang merajai televisi Eropa, Amerika, dan Asia menegaskan bahwa globalisasi tidak hanya berasal dari Washington dan tidak terbatas pada budaya Barat. Globalisasi lebih merupakan kemunculan ”bentuk-bentuk interdependensi dan kesadaran kebumian” sehingga negara-negara lain mampu ”berbicara balik” atau membalas pengaruh dalam suatu bentuk komunikasi dua arah atau beragam arah.[27] Akibat proses ini dapat terjadi glokalisasi sebagai suatu interaksi rumit antara global dan lokal yang berdasarkan pada saling pinjam budaya (cultural borrowing).[28] Dalam situasi ini, homogenisasi bertemu dengan heterogenisasi dan berakhiran dengan hibridisasi atau kreolisasi dimana budaya lokal mampu berdialog dengan budaya global dan saling mengisi.

Maka globalisasi tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu fenomenon melainkan merupakan fenomena; bukan satu globalisasi tetapi beberapa atau banyak globalisasi.[29] Budaya populer, sebagai salah satu mesin penggerak dan pendorong globalisasi kultural, memperlihatkan dengan jelas bagaimana proses multi-dialogis, multipolaritas, dan multidimensional ini terjadi.

Keberadaan sentra-sentra produksi budaya populer global tidak lagi terpusat di Amerika Serikat ataupun negara-negara Eropa melainkan sudah bergeser ke negara-negara Asia. Hollywood sudah dikalahkan dalam kuantitas  produksi film dari Bollywood. Kualitas perfilman Amerika Serikat maupun Eropa mendapat tantangan berat dari sineas Jepang, Korea, Cina, Iran, maupun India. Dengan kata lain, globalisasi membuka kesempatan bagi nilai-nilai budaya suatu negara untuk bisa mempengaruhi budaya negara lain atau bahkan mampu menjadi nilai-nilai yang mendunia.

Globalisasi dengan budaya populer memerlukan medium penyebaran melalui perlangkapannya yang paling mumpuni: televisi. Televisi dan globalisasi memiliki hubungan erat yang saling membutuhkan. Budaya populer lebih kerap didesiminasikan melalui televisi, dari iklan Coca-Cola, stasiun kabel CNN, atau stasiun musik MTV. Dakwah budaya populer mendapatkan dainya dalam bentuk televisi.

Televisi sangat esensial untuk pertumbuhan kecerdasan masyarakat yang berujung pada kecerdasan bangsa. Akan tetapi televisi juga dapat merupakan sarana pembodohan. Merangsang kecerdasan, karena masyarakat menggantungkan kepercayaan kepada televisi untuk memperoleh pengetahuan dan informasi. Melalui televisi pula masyarakat dapat mengubah gaya hidup dan cara berpikir yang lebih maju. Siaran televisi juga bisa membuat suasana teduh. tetapi, televisipun dapat merusak jadwal waktu, merusak citra dan menyesatkan, bahkan menjadikan suasana sedemikian kacaunya.

Televisi adalah bagian dari masyarakat dan budaya, bukan satuan terpisah yang menimpa pada masyarakat, meski demikian, pengelola dan pelaku pertelevisian ditempatkan pada posisi khusus dalam masyarakat karena akses mereka tehadap apa yang diproduksi. Budaya dan masyarakat, struktur dan hubungan sosial digerakkan oleh nilai-nilai budaya dan merupakan ekspresi dari nilai-nilai tersebut. budaya diejawantahkan melalui perilaku suatu masyarakatnya, sedangkan hubungan sosial yang ditandai dengan interaksi sosial adalah satu bentuk perilaku budaya, dan televisi adalah satu bentuk perilaku budaya. 

Maka efeknya, di mana-mana terjadi perubahan. Perubahan ini seringkali malah berpotensi mematikan budaya tradisional yang menjadi ciri kepribadian bangsa. Efek sosial dan budaya dari televisi tidak bisa dianggap ringan.

Dalam satu studi kasus pengaruh televisi dan globalisasi terhadap budaya dan masyarakat di Chile, terdapat korelasi yang kuat antara tayangan dan kepemilikan televisi dengan transformasi budaya. Penelitian Arturo Fontaine Talavera mengungkapkan kepemilikan televisi di Chile pada 1970an hanya berkisar 10,3 per sen dari total rumah tangga. Pada 1999, jumlah ini meningkat hingga mencapai 91,4 per sen. Efek sosial dan budayanya tertandai dengan berkurangnya perbedaan logat bahasa di antara daerah kota dan pedalaman. Hal ini diikuti pula menipisnya perbedaan kelas dalam berbahasa. Dan kaum mudanya pun berbicara dalam bahasa yang sama satu sama lain sehingga perbedaan kelas menipis namun perbedaan antar generasi makin membesar.[30]

Hal yang kurang lebih sama terjadi pula di Indonesia. Kepemilikan televisi di Indonesia telah berubah dari kemewahan menjadi kebutuhan dari 1970an sampai 2000an. Di samping itu, TVRI berhasil mempopularkan kebudayaan Jawa di seluruh Indonesia sebagaimana siaran-siaran televisi swasta nasional memberikan perubahan berbahasa melalui pemopuleran bahasa Betawi di seluruh Indonesia. Sinetron-sinetron yang disiarkan secara nasional menimbulkan pengaruh bahasa yang tak berbeda dengan kaum muda di Chile. Kaum muda di seluruh Indonesia lebih sering menggunakan bahasa kaum muda yang membuat perbedaan antar kelas menipis di antara kaum muda namun perbedaan generasi melebar. Tingkat konsumsi pun diyakini meningkat seiring dengan tingkat kepemilikan televisi dan eksposur atas tayangan-tayangan yang mempromosikan konsumerisme. Konsumsi yang dialami pun telah mengalami transformasi dari sekadar konsumsi barang menjadi konsumsi simbolik, tidak lagi sekadar membeli sepatu melainkan membeli merek yang terejawantahkan dalam status dan tren. Televisi jelas memiliki dan mengakibatkan pengaruh sosial budaya yang signifikan di Indonesia.

Dari Si Unyil ke Laptop Si Unyil

Tayangan “Laptop Si Unyil” yang ada saat ini sebenarnya merupakan pengembangan dari tayangan ”Si Unyil” yang telah ada sejak dua dekade lalu. ”Laptop Si Unyil” yang ditayangkan oleh stasiun televisi Trans 7 merupakan upaya untuk menghidupkan kembali program sukses ”Si Unyil” dan menjadi salah satu upaya untuk mengadaptasikan tayangan tersebut dalam konteks kontemporer.

Dalam sejarahnya, “Si Unyil” adalah film seri televisi Indonesia produksi PPFN yang mengudara setiap hari Minggu pagi di stasiun TVRI dimulai pada tanggal 5 April 1981 sampai tahun 1993. Pangsa program ini ditujukan kepada anak-anak dengan rentang usia pendidikan dari pra-Sekolah Dasar sampai ke awal Sekolah Menengah Atas. Program ”Si Unyil” merupakan film serial boneka di televisi yang mengedepankan kisah petualangan seorang anak bernama Unyil. Kata "Unyil" berasal dari "mungil" yang berarti "kecil".[31]

”Si Unyil” pada awalnya dirancang untuk membantu menyosialisasikan program-program pemerintah dan mengedepankan kebudayaan nasional. Pesan-pesan pemerintah, seperti program Keluarga Berencana, Puskesmas, Posyandu, atau program Makanan Empat Sehat Lima Sempurna, berhasil disampaikan dengan lebih menghibur ketimbang pendekatan formal indoktriner. Sosialisasi program pemerintah berbarengan dengan pengedepanan kebudayaan nasional berhasil dilakukan secara meluas.

Namun tayangan ini demikian sukses dan populer sehingga ”Si Unyil” menjadi salah satu ikon kebudayaan populer di dekade 1980-1990an yang tak tertandingi dan tak tersaingi. Boleh jadi ini dibantu oleh keberadaan TVRI sebagai satu-satunya media komunikasi massa melalui televisi yang ada di Indonesia. TVRI yang kala itu masih belum ada pesaing, dapat dengan bebas memonopoli hiburan televisi. Namun itu tidak menafikan bahwa sesungguhnya program ”Si Unyil” pada dasarnya dan pada dirinya merupakan program yang menarik dan menghibur. Sungguh tak terbayangkan di masa kepopuleran tayangan ini, ”Si Unyil” selalu ditunggu kehadirannya setiap hari Minggu. Banyak anak-anak berhenti bermain hanya untuk meluangkan waktu menonton ”Si Unyil” dan kemudian melanjutkan kembali aktivitas bermainnya sesudah acara itu usai. Sungguh suatu fenomena yang tak terbayangkan bagi anak-anak generasi 1990an dan 2000an yang lebih terpaku di dalam rumah untuk bermain play station dan beragam games lain yang lebih mengedepankan individualisme.

Karena itu “Si Unyil” pernah menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari budaya populer di Indonesia sebab program ini adalah bagian produk yang populer pada masa itu dan banyak orang tidak dapat melupakan berbagai unsur seri ini, mulai dari lagu temanya yang dimulai dengan kata-kata "Hom-pim-pah alaiyum gambreng!" sampai tokoh-tokoh seperti Pak Raden dan Pak Ogah dan kalimat seperti "Cepek dulu dong”.

Unyil dan Budaya Unggul

Budaya populer tak terelakkan akan kerap membawa pesan di bentuk tampilannya (form) maupun dalam isinya (content). Dengan mengambil contoh dari studi kasus produk budaya populer dari Walt Disney, si Unyil dapat pula dibedakan ke dalam dua periode: klasik dan kontemporer[32].

Periode klasik dalam Disney maupun Unyil mengacu pada awal masa pembentukannya. Disney Klasik merujuk pada produk-produk film, animasi, ataupun kartun yang dianggap paling sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh sang pendiri, Walt Disney. Produk tipe ini memiliki karakteristik tertentu seperti menekankan pada hiburan ringan yang diperkaya oleh musik dan humor. Cerita yang dikembangkan kerap merupakan pengembangan dari legenda ataupun kisah rakyat.

Peran yang ditonjolkan lebih mengarah pada tokoh-tokoh binatang yang dimanusiakan (anthropomorphised) dengan kisah pergelutan antara pahlawan melawan penjahat. Sedangkan nilai-nilai yang dikembangkan terutamanya mengarah pada nilai-nilai umum dan awam rakyat Amerika Serikat, seperti: individualisme, maju dengan kerja keras, keyakinan pada etos kerja, dan optimisme pada perbaikan dalam masyarakat. Namun Disney Klasik juga mempertegas eskapisme dari realitas kehidupan sehari-hari.[33] Disney seakan memberikan pelarian dari realitas dengan menawarkan kekebalan rasa dan hati melalui romantisisme atau keberhasilan tokoh jagoannya melalui semangat individualisme serta ketiadaan orangtua atau kehampaan bimbingan orangtua.[34]

Unyil Klasik, seperti dalam Si Unyil produk TVRI memiliki karakteristik yang berbeda dengan Unyil Kontemporer yang direpresentasikan oleh Laptop Si Unyil produksi Trans 7. Si Unyil dan Laptop Si Unyil memiliki perbedaan signifikan dengan Disney Klasik. Kedua Unyil memperlihatkan peran penting dan bimbingan yang diberikan orangtua.[35] Kebersamaan antara Unyil dan teman-temannya seperti Cuplis, Usro, Kinoy, Meilani, Tina, Bun Bun seakan menegaskan semangat komunalisme di antara mereka.

Berbeda dengan Disney Klasik, Unyil menampik eskapisme dari kehidupan sehari-hari dan malah memperlihatkan kebersahajaan dan realita yang anak-anak seusia Unyil biasa hadapi, dari mendirikan Band Dekil hingga kerja bakti di kampungnya. Unyil justru menikmati kepopulerannya setelah tayangan itu berhasil menampilkan keseharian yang diwujudkan tokoh-tokoh boneka manusia yang terasa dekat dengan para pemirsanya. Tokoh-tokoh dalam Unyil seperti Ucrit, Usro, Kinoy, Meilani, Tina, Bun Bun, Pak Raden, Pak Ogah, Pak Ableh, Cuplis, Pak Lurah, Endut dan Mbok Bariah merupakan pembonekaan manusia dan bukan binatang yang dimanusiakan seperti dalam Disney. Karena itu Unyil menjadi jauh lebih mendekati realita sehingga menjadi lebih bersahabat kepada pemirsa tinimbang tokoh-tokoh rekaan maunpun khayalan dalam Disney.

Terlebih dari itu, tayangan Unyil memiliki nilai-nilai budaya unggul yang memberikan pengajaran atau sosialisasi nilai budaya terhadap anak-anak yang  akan mempermudah proses internalisasi nilai budaya ke dalam tata perilaku masyarakat kita sehingga menumbuhkan daya saing bangsa dan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai positif  dan budaya unggul itu diantaranya meliputi:

1.      Memberikan identitas kebangsaan
Seperti ditengarai Mike Featherstone, film, atau siaran dan program televisi, mampu memberikan makna mendalam tentang identitas komunitas dan kebangsaan[36]. Film atau tayangan televisi memiliki pengaruh yang sama besarnya dengan media cetak dalam membentuk rasa nasionalisme di awal abad ke-20. Benedict Anderson dan Ernest Gellner berpendapat bahwa satu faktor penting dalam pengonstruksian nasionalisme adalah keberadaan media penerbitan dan percetakan yang bisa saling menghubungkan warga satu dengan yang lain, antara satu komunitas dengan komunitas lain di luar batas waktu dan ruang.[37]

Keberhasilan kemunculan suatu bangsa karena itu bergantung pada perkembangan susastra, novel, buku, dan koran yang dibarengi oleh tumbuhnya suatu masyarakat pembaca dengan kemampuan pemahaman literatur yang memadai dan bisa menyebarkannya tanpa dibatasi oleh tempat dan masa. Masyarakat seperti inilah yang mampu membayangkan suatu bangsa (imagined communities). Dan di masa kontemporer ini, film dan televise diyakini menjalankan peran sama bahkan mungkin lebih mempercepat penyebaran dan menguatkan pemahaman ketimbang media cetak.

Featherstone memberikan contoh bagaimana industri film di Inggris memainkan peranan penting menumbuhkan dan mematangkan identitas kebangsaan Inggris dalam Perang Dunia II melalui mobilisasi dan pemroduksian simbol-simbol musuh bersama.[38] Dalam contoh kontemporer kita bisa melihat bagaimana film Saving Private Ryan atau The Battle of Haditha, mampu menggalang rasa kebangsaan Amerika Serikat melalui mobilisasi simbol-simbol lawan sebagai Jerman atau Irak.

Berbalik dengan hal itu, Unyil memberikan identitas kebangsaan tanpa perlu melalui penggalangan simbolisasi permusuhan. Unyil justru memperlihatkan kebangsaan dalam penggambaran kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam konteks Indonesia yang beragam. Program televisi berhasil memperlihatkan ke-bhineka-tunggal-ika-an masyarakat dalam satu rumpun bangsa Indonesia yang rukun, damai, dan bersatu. Pak Raden yang menyimbolkan budaya khas Jawa bisa mengobrol santai dengan Mbok Bariah yang berlogat Madura; begitupun antara Usro yang muslim dan Bun Bun yang nasrani. Semua warga kelurahan di tempat tinggal Unyil seakan menanggalkan semua perbedaan dan hidup dalam identitas kebangsaan yang majemuk dan mengayomi.

Terlebih lagi, pesan persatuan dan kesatuan bangsa ini diperkenalkan dan dikonstruksikan kepada anak-anak dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Dengan luasnya pengaruh TVRI di masa itu dan populernya Unyil sebagai hiburan bagi anak-anak, tak pelak Unyil memperluas diseminasi nasionalisme keindonesiaan dan memperkuat konstruksi kebangsaan Indonesia. Walau masih memerlukan kajian lebih lanjut, boleh jadi generasi yang dibesarkan oleh tayangan Unyil memiliki kerentanan yang lebih rendah terhadap ide dan hasrat disintegrasi ataupun terhadap konsepsi warga dunia atau kosmopolitanisme dibandingkan generasi sesudahnya.

2.      Mengedepankan Kebudayaan Nasional
Pemeran-pemeran dalam tayangan serial boneka ”Si Unyil” juga menampilkan keunikan tersendiri. Pak Raden dengan baju Jawanya dan Mbok Bariah asal Madura, misalnya, mengedepankan seorang tokoh kakek muda yang bangga dengan pakaian tradisional dan menjunjung budaya keindonesiaan. Hampir semua tokoh dalam Unyil mengenakan pakaian daerah dan menjunjung kebudayaan nasional.
Dalam konteks globalisasi dan homogenisasi budaya, Unyil seakan menegaskan bahwa kita bukan dari suatu dunia global yang seragam. Tetapi malah menggarisbawahi terjadinya proses globalisasi yang melibatkan integrasi dan disintegrasi budaya. Unyil memperjelas bahwa kebudayaan Indonesia merupakan suatu bagian dari apa yang disebut Peiterse sebagai ”budaya translokal”:

Introverted cultures, which have been prominent over a long stretch of history and which overshadowed translocal culture, are gradually receding uinto the background, while translocal culture made up of diverse elements is coming the foreground.[39]

Unyil seakan menempatkan budaya sebagai suatu sistem yang dibatasi oleh batas geografis, sehingga tayangan itu mengamini konsep Geertz dimana budaya dimajaskan sebagai pengelana.[40] Budaya berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Antara yang Jawa dan yang Madura saling bertukaran, saling meminjam, sehingga memperkaya kebudayaan nasional Indonesia.

Di sisi lain, penampilan pakaian daerah dan kebudayaan nasional dapat diartikan secara semiotika sebagai salah satu upaya resistensi terhadap globalisasi monopolar dan globalisasi satu arah. Unyil membalikkan arus globalisasi dan membuat local menjadi nasional dan bahkan mungkin global. Daerah atau lokal mengalami proses globalisasi atau yang disebut Robertson sebagai glocalisation.[41]

Dengan demikian, Unyil pernah menjadi satu ikon budaya popular dan memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi ikon budaya popular di tingkat global, sebagaimana ikon global pada mulanya adalah ikon lokal. Che Guevara sebagai ikon perlawanan yang mengglobal, misalnya, bermula dari keberhasilannya membantu revolusi Kuba sehingga membuatnya menjadi ikon Amerika Latin

Unyil juga berperanan sebagai ikon resistensi terhadap globalisasi yang homogen dan unipolar. Sebagai ikon resistensi, Unyil dengan sarung dan peci hitam khasnya bisa dianalogikan dengan hibriditas sebagai bentuk perlawanan yang ditunjukkan dengan penampilan Benyamin S (Bang Beng) tokoh Betawi ditampilkan sebagai Che Guevara di kaos-kaos yang popular di Indonesia;

3.      Mempromosikan Toleransi, Pluralisme, dan Multikulturalisme
Kemudian, Meilani dan Bun Bun, teman bermain si Unyil, adalah anak-anak berlatar belakang keturunan Tionghoa. Keduanya bermain-main bersama Unyil dan teman-temannya tanpa mempedulikan sekat-sekat etnis dan agama. Dengan kata lain, Unyil dan teman-temannya mempromosikan budaya hidup toleran dan penumbuhkembangan sikap toleransi terhadap perbedaan serta mengembangkan pengakuan atas keberagaman.

Indonesia yang plural dan bernafaskan multikulturalisme berhasil digambarkan dengan sangat bersahaja oleh serial Unyil. Di dalam desa tempat Unyil tinggal, warganya berasal dari beragam agama dan etnisitas. Toleransi berkembang ketika masing-masing warga mengakui keberadaan mereka yang berbeda dan menghormati perbedaan yang ada. Multikulturalisme dipraktikkan di desa Unyil dengan penghargaan atas kebudayaan beragam yang menjadikan Indonesia sebagai suatu bangsa multikultural yang sehat.

Lebih utamanya lagi, semangat pluralisme dan pemikiran multikulturalisme sudah diperkenalkan oleh program ”Si Unyil” sejak awal terhadap anak-anak semenjak usia dini. Apa yang dilakukan tayangan Unyil ini boleh dibilang sebanding dengan program Sesame Street, yang di-Indonesia-kan menjadi Jalan Sesama, dan telah mengantisipasi pesan-pesan pluralisme, toleransi, multikulturalisme yang dibawa program asal Amerika Serikat ini.

Jika Sesame Street menjadi ikon toleransi, pluralisme, dan multikulturalisme di Amerika Serikat, Unyil memiliki nilai-nilai budaya unggul yang jauh lebih kaya dan mempunyai potensi untuk bersaing dengan program setara di tingkat global;
  
4.      Menyokong Gotong-royong dan Semangat Komunalisme
Unyil juga menampilkan suatu semangat yang terus menerus hidup di antara masyarakat Indonesia dan kerap dianggap sebagai ciri khas bangsa, yakni: gotong royong dan komunalisme.

Budaya unggul gotong royong dan komunalisme ini mulai terkikis dimana-mana dan kerap tidak ditampilkan secara memadai oleh tayangan-tayangan kartun asing. Unyil berbeda dengan kartun Jepang seperti Shin-Chan yang dibuat untuk konsumsi dewasa dan ditayangkan pada malam hari dengan menampilkan adegan-adegan tak wajar atau tak pantas ditiru anak-anak. Sponge Bob juga tampil dengan pemikiran dewasa sambil mengedepankan simbol-simbol pemberontakan maupun eskapisme. Produk-produk Disney, seperti yang disebut di atas, pun tak berbeda karena mempromosikan nilai-nilai individualisme yang berseberangan dengan nilai-nilai kemasyarakatan khas Indonesia atau komunalisme.

Semangat komunalisme itu ditunjukkan dan diteladankan oleh tayangan Unyil melalui kegiatan kerja bakti tanpa pamrih membersihkan lingkungan di desanya atau ketika mereka mengadakan gotong royong untuk memperbaiki infrastruktur desa atau rumah warga kampung. Semangat rela berkorban dan menolong ini jelas memberikan nilai simbolik dan pedagogis tinggi yang jarang ditemukan di tayangan-tayangan televisi untuk anak-anak.

Unyil, Kemunduran, dan Tantangan

Dan saat teknologi hiburan semakin modern dan banyaknya pilihan tayangan yang lebih inovatif, program ”Si Unyil” seakan menjadi sebuah hiburan kuno yang hanya ada di ruang memori masa lalu sehingga film ini pernah dicoba diangkat lagi oleh PPFN dengan bantuan Helmy Yahya pada tahun 2001, dengan meninggalkan atribut lama dan memakai atribut baru agar sesuai dengan jamannya, akan tetapi usaha itu gagal.

Pada tahun 2007, ”Si Unyil” dihidupkan lagi dengan nama “Laptop Si Unyil”, digawangi oleh salah satu stasiun televisi swasta yaitu Trans7. Karakter, lagu pembuka, dan cerita tetap dipertahankan, kecuali beberapa yang diperbaharui seiring zaman. Seperti ucapan Pak Ogah, yang dulu "Cepek dulu dong" kini jadi "Gopek dulu dong"; dan Unyil didampingi temannya membahas hal-hal pendidikan dengan laptop yang dimiliki teman si Unyil. Karena isinya membahas pendidikan dan teknologi sehingga acara ini cocok sekali ditonton anak-anak. Jam tanyang pun pas sekali yaitu saat anak-anak pada pulang sekolah pukul 13.00 WIB. Apalagi dalam tanyangannya ada segmen animasi dalam bentuk kartun sehingga bisa menambah minat anak-anak untuk melihatnya.

”Laptop Si Unyil” mengambil bentuk yang berbeda dari ”Unyil” untuk dua maksud. Pertama untuk tetap mempertahankan nilai tradisional yang membuat Unyil dulu sukses sembari, kedua, menyesuaikan Unyil dengan dunia kontemporer melalui tambahan laptop dan memperlihatkan Unyil sebagai elemen pendidik. Tim redaksi Laptop Si Unyil Trans 7 melakukan peliputan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan untuk elestarikan permainan tradisional tersebut. Permainan yang diliput adalah permainan gobak sodor, gotri ala gotri dan seni jidur. Peliputan Laptop Unyil ini menjadikan satu kebanggaan pada anak-anak, sehingga mereka kemudian bertekad akan tetap melestarikan permainan-permainan yang selama ini mereka anggap tidak mempunyai nilai. Selain itu juga mereka bangga tarian yang selama ini mereka perjuangankan menjadi salah satu tarian yang diliput. Ini menjadi salah satu kemenangan tersendiri buat anak-anak, mereka dapat memberitahukan ini adalah sebuah kesenian dan permainan yang seharusnya mesti dikembangkan dan dilestarikan.

Disamping itu Laptop si Unyil ini juga bercerita tentang suatu tema, misal bolpoin. Nah, kita-kita ini kan udah akrab banget dengan bolpen, tapi pernah ada yang membayangkan proses pembuatannya. Si Unyil ini menayangkan proses pembuatannya di pabrik, dan di akhir tayangan, biasanya muncul “Ooo…gitu to”. Tayangan juga tidak berhenti disitu. Diceritakan juga, sejarah penemuan bolpoin, serba-serbi bolpoin, dan hal-hal yang berkaitan dengan bolpoin. Topik-topiknya sederhana, dekat dengan kita, tapi sangat informatif.

Program ”Si Unyil” sangat bagus dan sangat aman bagi tayangan anak-anak. Selalu mengangkat topik-topik yang bagus seperti berkunjung ke pabrik susu, mengajak masyarakat mengetahui sejarah kereta api atau ditempat kerajinan-kerajinan sehingga anak dapat  mengetahui dan secara tidak langsung menambah pengetahuan dengan cerita ”Si Unyil”-nya sendiri. Masyarakatpun akan diajak secara langsung bagaimana ilmu itu dipelajari dengan baik, sekaligus bagaimana ilmu itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga terdapat dua sisi sebuah ilmu akan diperoleh dalam program acara ini.

Popularitas program ”Laptop Si Unyil” mampu mendongkrak perolehan share Trans 7 dalam kompetisi pertelevisian swasta. Berdasarkan data yang disusun oleh AGB Nielsen Media Research untuk 2007, Trans 7 berhasil meningkatkan sharenya dari 6,2 menjadi 6,9. Ditengarai kesuksesan ini disebabkan oleh kemunculan empat progam andalan Trans 7, yakni: Sport Match dan tiga program khas untuk anak-anak yaitu: Empat Mata, Si Bolang, dan Laptop si Unyil.

Akan tetapi Global TV yang hanya mengandalkan program anak-anak produk asing seperti Naruto dan The Legend of Aang berhasil meningkatkan perolehan sharenya dari 4,8 ke 5,8. Yang berarti Global TV mengalami kenaikan 1,0 dengan mengandalkan dua program anak-anak, sementara Trans 7 hanya mendapatkan kenaikan sebesar 0,7 melalui tiga program anak-anak ditambah satu program olah raga.[42] Dengan kata lain, perolehan share untuk program anak-anak produk dalam negeri berada jauh di bawah perolehan untuk program anak-anak produk asing.

Namun yang perlu disadari adalah layar televisi kita pernah dulu disemarakkan oleh program-program tayangan anak-anak yang mendidik dan mendorong budaya unggul. Televisi Indonesia belakangan lebih mempopulerkan produk budaya asing ditambah dengan tayangan-tayangan yang menyebabkan maraknya kekerasan maupun kriminal yang dilakukan anak-anak.


BAB V

  
A.    Simpulan
Berangkat dari analisis permasalahan diatas maka dapat ditemukan simpulan-simpulan sebagai berikut:
1.      Tayangan ”Unyil” merupakan program televisi yang bermuatan budaya unggul;
2.      Tayangan ”Unyil” menunjukkan visualisasi-visualisasi yang mengandung budaya unggul seperti memberikan identitas kebangsaan; mengedepankan kebudayaan nasional; mempromosikan toleransi, pluralisme, dan multikulturalisme; serta menyokong gotong-royong dan semangat komunalisme;
3.      Minimnya tayangan-tayangan yang bermuatan lokal seperti ”Unyil” di ranah pertelevisian Indonesia dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia;
4.      Telah dibuktikan bahwa tayangan ”Unyil” memuat budaya unggul yang mampu memiliki daya saing bangsa ditengah deras arus globalisasi;
5.      ”Unyil” dan program sejenisnya mengalami kemunduran yang menegaskan perlunya upaya yang lebih keras untuk mempopulerkan tayangan-tayangan yang bermuatan budaya unggul.

B.  Saran
Dalam rangka menumbuhkan daya saing bangsa berbasis keunggulan bangsa,  maka penulis menawarkan beberapa saran sebagai berikut:

1.      Meningkatkna kualitas program-program televisi bagi anak-anak dengan mempertimbangkan faktor-faktor budaya unggul yang bisa meningkatkan daya saing menghadapi globalisasi;
2.      Meningkatkan kuantitas dari penayangan program-program televisi yang sudah memiliki nilai-nilai budaya unggul, guna memenangkan kompetisi dalam persaingan antara nilai budaya di pasar global;
3.      Lebih memperhatikan dan mencermati kepemilikan modal dalam dunia pertelevisian sehingga mampu mengantisipasi dan menghindari timbulnya homogenesasi content tayangan pertelevisian;
4.      Menegakkan dan menerapkan secara lebih seksama batasan-batasan waktu penyiaran sesuai dengan klasifikasi usia dan content. Siaran bagi orang dewasa haruslah secara tegas ditetapkan pada masa-masa dimana anak-anak tidak lagi bisa mengkonsumsi siaran tersebut;
5.      Memberikan otonomi dan otoritas lebih besar kepada pihak-pihak dan lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan dan tugas untukmencermati, menyimak dan mengawasi tayangan dalam sgala bentuknya.


DAFTAR PUSTAKA


Buku
Abrar, Ana Nadhya, 2005, Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Barber, Benjamin, 1996, Jihal:ad vs McWorld, New York: Ballantine Press.
Barthes, Roland, 1996, Unsur-unsur Semiologi: Langue dan Parole” dalam Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (ed.). Serba-Serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Burton, Graeme, 2007, Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi, Bandung: Jalasutra.
Berger, Peter dan Huntington, Samuel, 2002, Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, Oxford: Oxford University Press.
Fiske, John, 1990, Culture and Communication Studies, Yogyakarta: Jalasutra.
Featherstone, Mike, 1996, Localism, Globalism, Cultural Identity di Rob Wilson et al., Global/Local, Durham: Duke University Press.
Fontaine, Arturo, 2002, Trends toward Globalization in Chal:ile in Peter Berger dan Samuel HAL:untington, Many Globalizations: Cultural Diversity in thal:e Contemporary World.
Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, ed.5th, New York: McGraw, Hill.
Giddens, Anthony, 2004, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehal:idupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books.
Gellner, Ernest, 1983, Nations and Nationalism, Oxford: Blackwell dan Anderson, Benedict, 1991, Imagined Communities, London: Verso.
J, Pieterse, 1995, Globalization as Hybridization in M Feathal:erstone, et al., Global Modernities, London: Sage.
Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang: Yayasan Indonesiatera.
Liliweri, Allo, 2001, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
McQuail, Dennis. 1987. Teori-teori Komunikasi. Jakarta: Erlangga.
Ritzer, George, 1993, Thal:e McDonaldization of Society, Thal:ousand Oaks: Pine Forge Press.
Robertson, Roland, 1995, Glocalization in M Featherstone, et al., Global Modernities, London: Sage.
Seteger, Manfred, B. 2006, Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadl Pustaka.
Severin, Werner J & Tankard, James W, 2005, Teori-Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Jakarta: Prenada.
Sobur, Alex, 2006, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tomlinson, Globalization and Culture.
Wasko, Janet, 2001, Understanding Disney, Cambridge: Cambridge University Press

Tesis

Prakosa, Adi. 2003, Kanalisasi Pres Dalam Konflik Politik di Lembaga Legislatif: Analisis Semiotik Terhadap Berita Pertanggungjawaban Akhir Tahun 2002 Bupati Sukoharjo Pada Harian Suara Merdeka dan Solo Pos, Surakarta: UNS Press.

Internet
http://mymediablogs.com/indonesia/2008/01/22/pergeseran-shal:are-stasiun-stasiun-tv-swasta-2007-2/.
http://www.trans7-co-id/profile/unyil=221980.
                                  


[1]       Peter Berger and Samuel Huntington (ed), 2002, Many Globalizations: Cultural Diversity in thal:e Contemporary World, hal: 12.
[2]       Tayangan Unyil yang dimaksudkan di sini adalah tayangan “Si Unyil” produksi TVRI dan derivatifnya seperti “Laptop Si Unyil” produksi Trans7. Kecuali dimaksudkan secara khusus “Unyil” akan merujuk pada pengertian umum di atas.
[3]       Roland Barthes, 1996, Unsur-unsur Semiologi: Langue dan Parole” dalam Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (ed.). Serba-Serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal: 80-88.
[4]       Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang: Yayasan Indonesiatera, hal: 45.
[5]       Alex Sobur, 2006, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal: 15.
[6]       Allo Liliweri, 2001, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal: 74.
[7]       Graeme Burton memandang ini lebih tertarik pada masalah control (dan kekuasaan) perusahan-perusahaan televisi, pada globalisasi, pada implikasi perubahan teknologi terhadap masyarakat (dan khalayak) (Graeme Burton, 2007, Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi, Bandung: Jalasutra, hal: 8.
[8]       Ibid, hal: 8.
[9]       Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, ed.5thal:, New York: McGraw, Hill, hal: 57.
[10]     Ibid.  hal: 59-61.
[11]     Dennis Mc Quail, 1996, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, PT Gelora Aksara Pratama, edisi keempat, hal: 260.
[12]     Werner J. Severin & James W. Tankard, 2005, Teori-Teori Komunikasi: Sejarah:, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Jakarta: Prenada, hal: 389.
[13]     Anthony Giddens, 2004, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehal:idupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal: 46.
[14]     Manfred B.Seteger, 2006, Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadl Pustaka, hal: 8.
[15]     Ibid, hal: 53.
[16]     Tomlinson, Globalization and Culture dalam ibid. hal: 53.                                                          
[17]      Ibid, hal: 54.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
[18]     Peter Berger and Samuel Huntington, Op.cit., hall: 33.
[19]     Ana Nadhya Abrar mengelompokkan metode penelitian komunikasi menjadi dua. Yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Jenis metode kuantitatif terdiri sebagai berikut: survei, analisis isi, kuasi eksperimental. Sedangkan jenis metode kualitatif meliputi etnografi, analisis wacana, studi kasus. (Ana Nadhya Abrar, 2005, Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: UGM Press, hal: 50-51).
[20]     Adi Prakosa. 2003, Kanalisissi Press Dalam Konflik Politik di Lembaga Legislatif. Surakarta: UNS Press
[21]     Fiske mengartikan semiotika sebagai ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam teks media, atau studi tentang bagamana tanda dari jenis karya apapun dalam khalayak yang mengkomunikasikan makna. (John Fiske, 1990, Culture and Communication Studies, Yogyakarta: Jalasutra, hal: 37).
[22]     Ana Nadhya Abrar meyakini teknik analisis data pada metode kualitatif analisis wacana terdiri dari analisis semiotika, analisis framing, dan analisis wacana kritis. (Ana Nadhya Abrar, Op.cit., hal: 42).
[23]     John Fiske, 1990, Cultural And Communication  Studies: Sebuahal: Pengantar Paling Komprehensif, Kata Pengantar Idi Subandy Ibrahal:im, Jakarta: Jalasutra, hal: 67.
[24]     Ibid, hal 89.
[25]     George Ritzer, 1993, Thal:e McDonaldization of Society, Thaousand Oaks: Pine Forge Press, hal: 78.
[26]     Benjamin Barber, 1996, Jihad vs McWorld, New York: Ballantine Press, hal: 34.
[27]     Anthony Giddens, Op., cit,  hal 12.
[28]     Roland Robertson, 1995, Glocalization in M Featherstone, et al., Global Modernities, London: Sage, hal: 109.

[29]     Peter Berger and Samuel Huntington Op.cit., hal: 112.

[30]     Arturo Fontaine Talavera, 2002, Trends toward Globalization in Chal:ile in Peter Berger dan Samuel Huntington, Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, hal: 254-262.
[31]     www.trans7.co.id, 28 Mei 2008.
[32]     Janet Wasko, 2001, Understanding Disney, hal: 110-116.
[33]     Dicontohalkan dengan tokoh Putri Salju (Snow Whal:ite) dengan lagu ”I’m Wishing”, Giopetto dalam ”Pinokio” yang menginginkan si boneka kayu menjadi anak manusia, serta ”Aladdin” yang mengangankan lahirnya dunia baru melalui lagu ”A Whole New World. Ibid, hal:117-118.
[34]     Contohnya, tokoh: Belle, Jasmine, dan Pocahontas hadir tanpa seorang ibu; Putri Salju dan Cinderalla lahir tanpa kejelasan ayah; Aladin dan The Beast tanpa adanya kedua orangtua. Walaupun kesemua tokoh ini diperlihatkan berhasil melampaui ketergantungan pada sosok orangtua dengan bersandar pada kemandirian diri. Ibid, hal: 118.
[35]     Anak-anak dalam serial ”Unyil” digambarkan dan diperlihatkan memiliki orangtua dan merupakan produk dari bimbingan dan arahan orangtua mereka.
[36]     Mike Featherstone, 1996, Localism, Globalism, Cultural Identity di Rob Wilson et al., Global/Local, Durham: Duke University Press, hal: 67.
[37]     Ernest Gellner, 1983, Nations and Nationalism, Oxford: Blackwell dan Anderson, Benedict, 1991, Imagined Communities, London: Verso, hal: 32.
[38]     Mike Featherstone, Op.cit., hal:.52-59.
[39]     Pieterse, J, 1995, Globalization as Hybridization in M Featherstone, et al., Global Modernities, London: Sage, hal: 70.
[40]     Clifford Geertz, 1973, The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books, hal: 201.
[41]     Roland Robertson, Op.,cit, hal: 67.
[42]     Satrio Arismunandar, 2008, Pergeseran Share Stasiun-stasiun TV Swasta, http://mymediablogs.com/indonesia/2008/01/22/pergeseran-share-stasiun-stasiun-tv-swasta-2007-2/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar