Having a plan is the best way to make a life change. It's the difference between a goal and a wish

Senin, 25 April 2011

Komunikasi Politik Indonesia

"Yang jadi pertanyaan kita, apakah di Indonesia ada system komunikasi? Jika pertanyaan itu dirinci lagi menjadi adakah Sistem Komunikasi Indonesia (SKI)? Pertanyaan tersebut setidak-tidaknya muncul dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 0223/U/1995 tentang kurikulum nasional. Sebenarnya SKI tersebut merupakan penegasan dari pelajaran komunikasi itu sendiri, hanya saja lebih dispesifikan oleh lembaga terkait."
Tak bisa dipungkiri dari kita, pembahasan tentang system komunikasi tak akan terlepas dari system social dan politik. Sehubungan dengan itu apa yang menjadi prosedur dan perilaku dalam system social juga sangat mempengaruhi prosedur dan perilaku yang terjadi dalam system komunikasi. Tidak mengherankan bila membahas komunikasi tak lain adalah membahas satu dimensi dalam ilmu social politik. Sebab komunikasi adalah bagian dari pola interaksi unsure-unsur dalam system social. Pendek kata, komunikasi adalah bagian dimensi social yang khusus membahas pola interaksi antarmanusia (human communication) dengan menggunakan ide atau gagasan lewat lambang atau bunyi-bunyian. Sedangkan bagian dari pola interaksi dalam system politik bisa kita kembangkan melalui bagaimana hubungan pemerintah atau bisa kita katakana komunikasi antara elit yang bisa berdampak terhadap kondisi politik nasional.

            Dalam praktik politik, system komunikasi akan dipengaruhi pula oleh keberadaan system politik. System komunikasi yang demokratis misalnya, akan memberi peluang komunikasi yang demokratis pula. Sebaliknya, system politik otoriter akan membuat system komunikasi otoriter pula. Sebab proses komunikasi yang dikembangkan jelas hanya ditentukan oleh penguasa dan berjalan top down ( dari atas ke bawah). Hal ini terjadi akibat pengaruh system politik yang memfungsikan pola seperti itu. Kita bisa membandingkan antara system politik pemerintah Orde Baru dengan Orde Reformasi. Pembagian orde di sini lebih diartikan sebagai suatu pembagian rentang waktu seseorang dengan sistemnya berkuasa dan tidak diartikan secara politik. Sebab, jika ditinjau secara politik hal demikian terkesan tidak adil. Misalnya setelah Orla (kekuasaan Soekarno) tumbang, muncul Orba (kekuasaan Soeharto) yang dalam persepsi masyarakat (atau dipersepsikan oleh pemerintahannya) Orba lebih bagus dari pada Orla. Begitu juga akan ada kesan bahwa Orla lebih buruk dari pada Oref (Pasca Soeharto). Padahal tidak selamanya demikian. Pada era Orba system politik hanya ditentukan oleh pemerintah dengan mengebiri otonomi masyarakat, sedangkan era Orde Reformasi sistemnya lebih demokkratis. Terbukti dengan dibukanya kran  kran keterbukaan dan semua pihak boleh berbuat apa saja (khususnya yang berkaitan dengan proses mencari dan menyiarkan informasi), asalkan masih ada rambu konstitusi. Keadaan diatas juga sangat berpengaruh terhadap berjalannya system komunikasi. Bagian system komunikasi misalnya adalah system pers pun sangat lain. Pers era Orba penuh kekangan, dihambat kebebasan persnya, dihantui pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), adanya peringatan, budaya telepon dan briefing, sedangkan pada era reformasi semua itu dihapus (mulai dihapusnya SIUPP sampai pembubaran Departemen Penerangan/DEPPE). Kenyataan system politik tersebut memberi andil dan berpengaruh secara langsung bagi kebebasan system komunikasi.
       
     Harus diakui bahwa komunikasi bisa sebagai esensi dasar manusia karena manusia adalah makhluk individu. Konsekuensinya, bahwa ia akan berusaha memenuhi kebutuhan individunya terlebih dahulu setelah itu baru kebutuhan lain (kebutuhan sosialnya). Esensi manusia sebagai makhluk yang tidak terlepas dari orang lain inilah yang membuatnya berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Melalui komunikasi manusia membangun diri dan lingkungannya. Melalui komunikasi peradaban manusia bias maju, sebaliknya melalui komunikasi pula peradaban manusia mengalami kemunduran. Selain itu komunikasi bias sebagai proses politik, bagaimana seandainya dalam politik tidak terjadi komunikasi? Tentunya akan mempengaruhi kinerja politik (atau system politik) yang sedang dijalankan. Berbagai komponen infrastruktur dan suprastruktur mengalami keterputusan hubungan sehingga mekanisme yang seharusnya dijalankan tidak bias berkembang secara dinamis. Sekedar contoh misalnya tidak terjadi komunikasi antara eksekutif dengan legislative, atau tidak adanya komunikasi antara pemerintah dengan rakyatnya. Berbagai macam kebijakan negara tidak akan tersosialisasikan dan terlaksana dengan baik. Begitu juga berbagai bentuk keterlibatan rakyat dalam politik (sebagai sesuatu yang harus terkjadi akan mengalami hambatan).

Realitas Politik Indonesia

            Satu realitas yang sangat menarik adalah Politik Orde Baru (Orba). Sebab tanpa disadari, Orba telah menciptakan tradisi politik yang sangat khas disbanding dengan rezim lain. Ia sangat relevan karena kukuh selama hampir 32 tahun tanpa goyah dan tanpa kontrol secara efektif. Misalnya istilah yang dikemukakan oleh Karl J. Jackson yang menafsirkan tesis Max Weber tentang “kekuasaan patrimonial”. 
"Dengan komunikasi, maka realitas, sejarah, tradisi politik bias dihubungkan /dirangkaikan dari masa lalu untuk dijadikan acuan ke masa depan. Dengan komunikasi sebagai proses politik, berbagai tatanan politik yang tidak sesuai dengan tuntunan masyarakat akan berubah. Misalnya tradisionalisme."

(Tulisan ini merupakan Materi Pembekalan yang diberikan oleh Penulis kepada anggota KSM (Kelompok Study Mahasiswa) UNAS, Jakarta) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar