Having a plan is the best way to make a life change. It's the difference between a goal and a wish

Senin, 25 April 2011

Manifestasi Nilai-Nilai Hedonis Dalam Media Massa : Analisis Semiotik Terhadap Film VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan

 (Lomba Karya Tulis Ilmiah dan Presentasi, Peringkat I Tkt Wilayah A -Sumatra,Jawa-DKI Jakarta- 2006. )


BAB I

A.    Latar Belakang Permasalahan

Komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan-pesan kepada masyarakat melalui media massa. Surat kabar, majalah, radio, film, televisi, internet merupakan perwujudan-perwujudan dari media massa. Komunikator komunikasi massa harus mengenal benar kemampuan dan sifat dari media massa yang digunakannya, untuk menghasilkan dampak komunikasi yang diharapkan.

Film merupakan ”salah satu wujud dari media massa”.[1] Melalui media massa ini, ”pesan-pesan yang disampaikan dapat dirancang secara menarik dan memudahkan masyarakatnya menikmati serta mencerna pesan-pesan tersebut”.[2] Film adalah alat komunikasi. Film mempunyai muatan-muatan pesan sosial. Sebagai alat komunikasi, film dijadikan media untuk menyampaikan pesan sosial kepada masyarakat. Pesan sosial tersebut didapat dari keseharian problem riil yang dihadapi masyarakat.[3]

Film berjudul ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” merupakan salah satu film remaja yang dapat menggambarkan tren film saat ini.  Keseharian problem riil tentang pergaulan suatu kelompok remaja yang terseret ke dalam kehidupan hedonis dan pencandu tren baru dengan perangai serba ingin tahu tervisualisasikan dalam film tersebut. Pada awal-awal pemutarannya, ”film ini  telah menimbulkan pro-kontra di masyarakat berkenaan  dengan cerita maupun visualisasinya”.[4] Film ini pantas dikaji dan dijadikan perenungan bersama, karena pesan-pesan yang ada dalam film ini menyampaikan suatu perubahan sosial budaya yang ada pada masyarakat. Kecenderungan nilai-nilai hedonis telah tervisualisasikan dalam film ini. Visualisasi nilai-nilai hedonis tertampilkan dalam adegan-adegan yang menyimpang, seperti: seks bebas demi mendapatkan suatu kepuasan atau materi yang dilakukan seorang siswi SMA, gaya hidup yang bebas, penggunaan bahasa preman, pakaian sekolah yang minim dan seksi, biasa mengkonsumsi narkotika, perilaku orang tua yang tidak mendidik. Seperti yang dinyatakan oleh William L. Rivers bahwa

Sesungguhnya media (film) mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pandangan dan tindakan masyarakat. Sampai sekarang, film masih dibayangi oleh cap sebagai industri gaya hidup yang longgar dan moral yang minim.[5]

Film-film yang diproduksi, terkadang lebih memprioritaskan budaya popular yang bersifat instant supaya lebih laku dipasaran. Bagi para pelaku film, profit adalah penting. Dan remaja adalah salah satu sasaran yang paling banyak mendatangkan profit. Remaja sekaligus sebagai pasar yang mudah terpengaruh dengan budaya asing yang arogan, bebas, dan kental dengan seks bebas. Pengaruh-pengaruh buruk tersebut mengancam bagi perkembangan generasi bangsa. Mereka dihantarkan kedalam budaya-budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Penyampaian pesan-pesan melalui komunikasi massa (diwakili oleh film)   menimbulkan dampak yang cenderung disfungsional bagi masyarakat Indonesia. Nilai-nilai hedonis berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila, maka sosialisasi nilai-nilai hedonis melalui film VIRGIN akan menimbulkan dampak disfungsional bagi masyarakat Indonesia.

Padahal, sebagai suatu lembaga sosial, komunikasi massa harus berperan aktif dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila untuk menumbuhkan masyarakat berdaya saing bangsa yang berkualitas.

Dilihat dari content (isi) film remaja saat ini banyak mengalami penyelewengan apabila dihadapkan pada nilai-nilai Pancasila dan juga sebenarnya dengan peraturan yang sudah termaktub dalam UU Perfilman tahun 1992.[6] Hal inilah yang menggelitik penulis sebagai salah seorang penikmat film untuk mengkaji sekaligus mengkritisi film dengan judul “VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” yang banyak memuat nilai-nilai hedonis. Kajian terhadap konstruksi nilai-nilai hedonis dalam film ini dengan cara memilah tanda (sign) dan makna (meaning) yang terkandung didalamnya dengan teknik semiotika. Nilai-nilai hedonis dimaknai sebagai budaya yang permissif terhadap segala hal, dimana disitu ada penghambaan terhadap kebendaan juga budaya kebebasan yang mengutamakan kesenangan fisik dan penampilan.  

B.     Rumusan Masalah

Berangkat dari paparan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah manifestasi nilai-nilai hedonis dalam film yang berjudul ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sehingga dapat melunturkan daya saing bangsa Indonesia?”

C.    Tujuan Penulisan  

1.      Memperoleh gambaran sebagai manifestasi nilai-nilai hedonis dalam film  “VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan”;
2.      Mendapatkan aspek-aspek yang ditonjolkan seputar nilai-nilai hedonis dalam film ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan”;
3.      Memberikan masukan alternatif dalam memproduksi film yang bermuatan budaya unggul yang bermanfaat untuk menumbuhkan daya saing bangsa.

D.    Manfaat

1.      Kegunaan akademik. Hasil penulisan diharapkan dapat memperkaya studi-studi komunikasi massa yang terkait dengan dunia perfilman;
2.      Kegunaan pragmatik. Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan masukan kepada insan perfilman, lembaga sensor, pemerintah dan masyarakat dalam upaya melahirkan film-film bermutu. Film-film yang bermanfaat untuk menumbuhkan daya saing bangsa;
3.      Kegunaan sosial. Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan masukan atau penawaran kepada masyarakat agar “melek film” (film literacy) sehingga masyarakat dapat selektif dalam melihat film.

BAB II

Komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan-pesan dari komunikator kepada masyarakatnya melalui media massa. Dalam kajian budaya (cultural studies) komunikasi merupakan variasi yang luas dari ekspresi budaya dan forum ritual kehidupan manusia sehari-hari. Stuart Hall, salah seorang pelopor Kelompok Kajian Budaya, menganjurkan bahwa “fokus komunikasi adalah kebudayaan yang hidup, khusus aspek-aspek yang bersumber dari budaya suatu kelompok masyarakat yang mempunyai akses untuk itu”.[7]

Peserta-peserta komunikasi khususnya komunikator, berusaha menawarkan pesan-pesan yang bermuatan nilai-nilai budayanya kepada komunikannya. Proses penyampaian pesan merupakan kegiatan simbolik, melalui kegiatan simbolik ini suatu nilai-nilai budaya ditawarkan kepada masyarakat. Bagaimana suatu realitas sosial dimaknai dan dikontruksi oleh seseorang untuk dikomunikasikan kepada masyarakat merupakan dasar pemikiran penulisan ilmiah ini.

Oleh karena itu penulis menyadur beberapa teori, dan beberapa konsep yang relevan dengan penulisan ilmiah ini sebagai berikut:

A.    Interaksi Simbolik.

Interaksi simbolik disini adalah dimana seseorang melihat, membaca, dan memahami simbol-simbol yang berada pada orang lain dalam melakukan interaksi. Karya George Herbert Mead -Mind, Self and Society- merupakan pegangan utama penganut teori ini. Masyarakat merupakan himpunan dari perbuatan-perbuatan kooperatif yang berlangsung diantara para anggotanya. Namun demikian, perbuatan kooperatif ini bukan hanya menyangkut proses fisik dan biologis saja, tetapi juga menyangkut aspek psikologis, karena melibatkan proses berpikir. Konsep kooperatif mengandung arti sebagai kegiatan membaca atau memahami tindakan dan maksud orang lain agar dapat berbuat dengan cara yang sesuai dengan orang-orang lain.[8]

Pemikiran bahwa masyarakat merupakan rangkaian interaksi penggunaan simbol-simbol yang kooperatif, pada dasarnya menekankan pentingnya aspek berbagi arti atas simbol-simbol yang digunakan di antara  anggota masyarakat. Dengan demikian interaksi sosial merupakan hasil perpaduan antara pemahaman diri sendiri dan pemahaman atas orang-orang lain.

Salah satu konsep pokok yang dicetuskan Mead dalam pembahasannya tentang interaksi simbolik adalah konsep the generalized other. Konsep ini pada hakikatnya menunjukkan bagaimana seseorang melihat dirinya sebagaimana orang-orang lain melihat dirinya.

Sementara itu, Herbert Blumer menyatakan interaksi simbolik mempunyai tiga premis yang berkaitan dengan meaning, language, dan thought.[9] Ketiga kesimpulan mengenai penciptaan konsep diri seseorang dan sosialisasinya ke dalam komunitas yang lebih luas. Ketiga premis itu adalah sebagai berikut:
  1. Premis satu, manusia bertindak terhadap seseorang berdasarkan makna (meaning) yang mereka sampaikan kepada orang tersebut. Sementara makna itu muncul dari interaksi sosial;
  2. Premis dua, makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa (language). Dari sinilah muncul istilah interaksi simbolik tersebut. Manusia mempunyai kemampuan untuk mendesain objek yang spesifik, menentukan sebuah tindakan dan menunjuk pada sebuah gagasan yang abstrak;
  3. Premis tiga, pemikiran (thought) merupakan masalah interpretasi. Interpretasi individu terhadap simbol adalah dimodifikasi oleh proses-proses pemikiran  yang dimilikinya. Interaksi simbolik menggambarkan pemikiran sebagai percakapan yang terjadi di dalam diri sendiri (inner conversation).
B.     Teori Konstruksi Realitas Sosial

Teori Konstruksi Sosial dipublikasi dari Peter Berger dan Thomas Luckman. Menurut mereka manusia menciptakan realitas sosial dari berbagai informasi yang didapat terus menerus kemudian diproses berdasarkan faktor-faktor internal (subyektif) dan faktor-faktor eksternal (obyektif).[10] Tiga macam realitas sosial yaitu:

  1. Realitas Sosial Obyektif (RSO) adalah realitas yang dialami sebagai dunia obyektif yang nyata yang terdapat diluar individu dan berhadapan dengan fakta yang dimilki individu tersebut;
  2. Realitas Sosial Subyektif (RSS) merupakan kondisi dimana RSO berperan sebagai masukan dalam pembentukan RSS individu. Dalam terminologi bisa dikatakan bahwa dunia obyektif dengan perwakilan simbolisnya bergabung dalam diri individu;
  3. Realitas Sosial Simbolik sesuatu yang berisi semua bentuk ekspresi simbolik dari realitas obyektif misalnya seni, literature, dan isi media.
Realitas sosial simbolik terletak dalam penyampaian informasi melalui media. Dengan mengambil analogi proses konstruksi realitas secara sosial maka produksi teks di media terjadi proses yaitu bahwa setiap individu yang berperan dibalik produksi teks masing-masing memiliki dunia realitas subyektifnya. Realitas simbolik yang dibangun media melalui teks merupakan konstruksi dari media itu dan hal itu dipengaruhi oleh para pembuat teks dan juga faktor lainnya termasuk didalamnya ideologi. Makna dan nilai-nilai dalam teks media merupakan bentuk dari tujuan yang ingin diterapkan dan dicapai oleh sumber kepada masyarakatnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh John Fiske sebagai berikut:

Saat menampilkan peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi si pembuat teks media yaitu pertama, peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas dalam bahasa gambar umumnya berhubungan dengan aspek pakaian, lingkungan, ucapan, ekspresi. Pada level kedua, ketika memandang sesuatu sebagai realitas pertanyaan berikutnya bagaimana realitas itu digambarkan. Disini menggunakan perangkat teknis. Dalam bahasa proposisi, grafik dan sebagainya. Dalam bahasa gambar alat itu berupa kamera, pencahayaan, editing, dan musik. Ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke alam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis.[11]

C.    Teori Fungsional dan Disfungsional

Teori fungsional menyajikan kerangka berpikir mengenai hubungan antara media massa dengan individu dan masyarakat. Apabila ditinjau dari sudut pandang masyarakat bahwa

Media dapat menunjang kesinambungan, pengendalian sosial, keterpaduan dan motivasi dengan secara simbolis mengganjar mereka yang menyesuaikan dengan nilai-nilai sosial, budaya dan ekonomi serta dikatakan berhasil ataupun fungsional ketika sesuai dengan standar nilai-nilai yang dianut tersebut.[12]

Media massa yang memiliki fungsi mempunyai peranan terhadap perubahan sosial budaya. Fungsi pengawasan sosial, korelasi, pewarisan budaya, dan hiburan dari komunikasi massa mempunyai dampak fungsional maupun disfungsional terhadap individu, kelompok dan masyarakatnya.[13] Jadi pemberian informasi melalui media dapat menimbulkan efek yang diinginkan dan yang tidak diinginkan karena adanya berat sebelah dalam proses seleksi atau kesalahan interpretasi. Upaya interpretatif adalah merupakan wujud kontrol sosial. Apabila dampak pesan-pesan dalam media tersebut cenderung ke arah negatif yang tidak diinginkan maka bersifat disfungsional. 

D.    Nilai-nilai Hedonis

Paham hedonisme (hedone = kepuasan) adalah paham yang mengutamakan kepuasan meteri dan hidup senang. Dalam arti yang lebih luas disebut materialisme. Penopang utama materialisme adalah orientasi yang terlalu berlebihan pada rasio. Logika yang mendasari adalah bahwa “pengembangan rasio atau penalaran akan mampu memenuhi segala kebutuhan manusia untuk mendapatkan kepuasan”.[14] Paham hedonisme ini membawa nilai-nilai hedonis yang disebarkan melalui media massa. Media massa sekarang ini cenderung menyajikan budaya-budaya yang disebut budaya popular. Budaya popular ini adalah bersifat budaya massa. Secara umum perhatian orang terhadap budaya massa tertuju pada tiga hal yaitu pertama daya tariknya yang demikian besar yang sanggup menjangkau kalangan terbatas dari sebuah kelompok massa dalam sebuah masyarakat. Secara teknis perhatian terhadap budaya popular dalam konteks ini akan dimulai dengan pertanyaan tentang muatan apa yang dikandungnya sehingga ia sanggup membentuk resepsi masyarakat yang sangat besar. Kalau disederhanakan budaya popular adalah suatu produk konsumsi atas produk kultural sehingga daya tarik dari produk-produk kultural tersebut sanggup menyedot ketertarikan orang pada tingkat yang jauh lebih besar dibanding produk-produk yang ada sebelumnya. Kedua memiliki kekuatan massif untuk menjangkau jumlah massa yang besar pada gilirannya menarik perhatian sejumlah orang untuk mengetahui pengaruh, positif atau negatif terhadap bidang-bidang lain dalam kehidupan masyarakat kontemporer, maupun masyarakat pendukungnya secara keseluruhan. Ketiga medium penyebaran budaya massa ini melalui media massa.[15] Nilai-nilai hedonis yang dibawa oleh media menyebarkan budaya yang permissif dan gaya hidup konsumtif yang dapat melemahkan pengaruh nilai-nilai, agama dan moral yang mementingkan keuntungan tanpa memperdulikan tanggung jawab sosial. Lebih jauh lagi budaya ini sangat jauh dari kehidupan spiritual kehidupan manusia.[16] Budaya serta gaya hidup hedonis di mana kita mengutamakan kesenangan fisik dan penampilan. Dalam hal ini ukuran terpuji dan tercelanya adalah apa yang dirasa nyaman oleh indra dan pikiran semata.[17] Budaya bebas yang seperti ini termasuk didalamnya terkandung dalam periklanan, media cetak, media elektronik, hiburan serta dunia perfilman.[18]

E.     Film Sebagai Media Komunikasi

Proses komunikasi pada hakekatnya adalah ”proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain”.[19] Film merupakan media komunikasi yang tidak terbatas ruang lingkupnya. Hal ini dipengaruhi oleh unsur cita rasa dan unsur visualiasai yang saling berkesinambungan. Film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda (sign). Tanda-tanda itu dipakai oleh pembuat film sebagai alat untuk mengartikulasikan apa yang menjadi maksud dan tujuannya.

Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, yang membuat para pembuat film memiliki potensi untuk mempengaruhi masyarakatnya, terutama kepada masyarakat yang rentan daya selektifnya (misalnya para remaja). Film mempunyai kemampuan mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya. Namun, film sering kali merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,[20] dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar.

BAB III

A.    Jenis Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan adalah metode kualitatif, jenis analisis wacana.[21] Penulisan ini termasuk jenis penulisan kualitatif. Artinya data yang digunakan merupakan data kualitatif. Sudjana menyatakan bahwa ”data kualitatif adalah data yang dikategorikan menurut kualitas obyek yang dipelajari”.[22] Dalam penulisan ini data tidak berbentuk bilangan atau angka, melainkan berupa kata, kalimat, visual, dan grafis yang menggambarkan kualitas pesan-pesan yang ada pada film berjudul ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan”. Data-data kualitatif tersebut berusaha diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, atau referensi-referensi secara ilmiah.

B.     Sumber Data

Penulis menggunakan tiga bentuk data. Pertama, data primer, yakni pesan-pesan dalam film ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” sebagai teks. Berangkat dari asumsi bahwa teks berisi pesan-pesan yang di dalamnya terdapat tanda-tanda sebagai bahan data yang ditafsirkan dan diinterpretasikan.
Kedua, data pembanding, adalah teks lain yang dipergunakan sebagai upaya intertekstual, tidak saja dalam bentuk gambar, tetapi juga dalam bentuk lain yang berhubungan dengan tanda-tanda dalam teks yang tengah dianalisis.

Ketiga, data pendukung, meliputi bahan bacaan guna memperjelas, memperkuat argumentasi juga mengklarifikasi konsep-konsep (ikon, indeks, simbol) dari tanda yang dibahas. Data pendukung dapat dipergunakan karena relevansi dengan konteks pembahasan. Tanda yang bersifat denotatif umumnya bersifat ‘common sense’, artinya secara konvensional sudah disepakati. Tetapi banyak tanda yang sangat unik, bersifat ‘subyektif’ yang lahir dari pemaknaan oleh pengalaman individu. Pemaknaan ganda atau tanda yang bersifat konotatif inilah yang membutuhkan data-data pendukung.

C.    Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan purposive sampling, yaitu peneliti boleh secara subyektif memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik populasinya.[23] Teknik pengumpulan data jenis ini  lazim digunakan dalam penelitian-penelitian yang menggunakan metode kualitatif. [24] Pilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik cuplikan (sampling) dalam kualitatif fungsinya sering dikatakan internal sampling karena sama sekali bukan dimaksudkan untuk menggeneralisasikan pada populasi, tetapi untuk memperoleh kedalaman studi di dalam suatu konteks tertentu.

Dalam penulisan ini sampel yang dipilih adalah pesan-pesan yang terdapat di dalam film ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan”.  

D.    Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis semiotika.[25] Semiotika adalah studi tentang tanda dan makna dari sistem tanda.[26] Teknik analisis ini memungkinkan peneliti untuk memaknai tanda-tanda yang terdapat dalam film ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” sesuai dengan tujuan dari penulisan ini.

Jenis analisis yang digunakan adalah semiotika yang dipublikasikan oleh Charles Saunders Peirce ”dimana dikategorikan tanda dalam tiga kategori yaitu ikon, indeks, dan simbol”.[27]

Tabel 1: Trikotomi Ikon/Indeks/Simbol Peirce[28]

Ikon
Indeks
Simbol
Ditandai oleh
Kemiripan

Hubungan-hubungan sebab-akibat
Konvensi-konvensi
Contoh
Lukisan, patung
Asap/api, gejala/penyakit
Kata-kata/isyarat
Proses
Dapat dilihat
Dapat digambarkan
Harus dipelajari

Manifestasi nilai-nilai hedonis yang akan dianalisis meliputi tiga kategori, yaitu:
1.      Budaya permissif terhadap segala hal;
2.      Penghambaan terhadap kebendaan;
3.      Budaya kebebasan yang mengutamakan kesenangan fisik.

BAB IV

A.    Analisis Permasalahan

"VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” adalah sebuah film Indonesia buatan tahun 2004 yang disutradari oleh Hanny Saputra. Film ini mengisahkan kehidupan remaja belasan tahun di kota metropolitan. Kehidupan remaja yang dibidik menjadi bahan cerita adalah pergaulan remaja yang terseret ke dalam kehidupan hedonis, dan pencandu tren baru dengan perangai serba ingin tahu.
Alur cerita bertumpu pada persahabatan tiga remaja, yaitu Biyan (diperankan Laudya Cynthia Bella), Stella (Ardina Rasti), dan Ketie (Angie). Di seberang persahabatan mereka, terdapat Luna (Uli Auliahti) dan kelompoknya yang menjadi rival dalam berbagai kesempatan. Rivalitas itu, seperti dapat diterka pada umumnya film kisah remaja, adalah pertarungan memperebutkan pria tampan, yaitu Marix (Mike Muliardo). Pada film ini juga terdapat perebutan casting untuk sebuah peran pada sejudul film roman picisan yang tengah dibuat.

Luna merupakan tokoh antagonis, dikisahkan bersaing dengan Stella dalam memperebutkan peran untuk film roman picisan tersebut. Walau akting Stella amat parah, namun usaha yang dilakukannya mendapatkan pujian juga. Pertarungan menjadi seakan-akan seru karena dibumbui persaingan yang memperebutkan Marix oleh Luna versus Biyan. Karena Luna sudah diposisikan sebagai antagonis, tentu saja menjadi pihak yang kalah bertarung.

Pada persaingan antar remaja itu, sang penulis kisah, mencoba memotret realitas kehidupan bahwa selalu ada pihak yang menghalalkan berbagai cara demi meraih kemenangan. Stella misalnya, pada mulanya kepada sutradara film bersedia menawarkan diri asal peran dalam film roman picisan itu diberikan kepadanya. Luna yang tampak selalu urakan dan menggebu-gebu, mengerahkan berbagai trik untuk mendapatkan Marix. Atau Ketie yang harus survival, terpaksa menjual diri hingga bersedia di-booking dalam mobil atau toilet. Biyanpun mendapatkan tawaran dari Stella ada seorang pria hidung belang yang mau membayar dengan harga mahal asalkan pria hidung belang tersebut dilayani oleh perempuan yang masih perawan, akan tetapi demi mempertahankan keperawanannya Biyan menolak tawaran tersebut sewaktu bersama pria hidung belang tersebut. Teman-temannyapun tidak mengetahui apakah Biyan masih perawan atau tidak, atas kebaikan pria hidung belang tersebut pada Biyan, maka pria hidung belang tersebut tidak melakukan apapun pada Biyan. Pada akhirnya Biyan membuat buku yang laku dipasaran, dimana buku terebut diilhami dari pengalamannya dan teman-temannya. Buku tersebut menceritakan bahwa keperawanan adalah hal yang terpenting diatas segala-galanya bagi perempuan.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penulis terhadap isi film ”VIRGIN Ketika Keperawanan” Dipertanyakan dengan teknik Semiotika Peirce, menunjukkan adanya manifestasi nilai-nilai hedonis pada tanda-tanda dalam film tersebut. Hasil temuan-temuan tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 2: Budaya permissif terhadap segala hal
No.
Tanda
Makna
1.
Ikon yang ditampilkan melalui tiga remaja yang akrab dengan  kehidupan malam di diskotik yang biasa mengkonsumsi minuman beralkohol sambil berdisko

Ketiga remaja tersebut diartikan   sebagai sosok manusia hedonis dengan pergaulan bebas. Hal ini adalah dampak dari kebiasaan bergaul di diskotik dan mall. Sehingga waktu yang luang setelah pulang dari aktifitas sekolah mereka tidak dimanfaatkan untuk belajar atau berkumpul dengan keluarga
2.
Ikon tokoh Ketie anak sekolah SMA berprofesi sebagai WTS (Wanita Tuna Susila)

Ikon tersebut dapat dimaknai sebagai sosok wanita hedonis. Dalam usia remaja ini (Ketie) sudah mengenal dunia seks bebas dan mencari jalan untuk memenuhi rasa puas terhadap kebutuhan hidupnya dengan melayani pria hidung belang
3.
Indeks yang ditunjukkan melalui adegan seks di dalam mobil yang dilakukan oleh Ketie dengan Cebol

Indeks ini dapat diartikan maraknya  praktek seks bebas dikalangan remaja pada tempat-tempat yang tidak semestinya. Hal ini mengandung nilai-nilai hedonis.
4.
Membuat dan memamerkan tattoo. Atribut-atribut yang dipakai Luna seperti aksesoris tindik di lidah, tattoo di bawah perut merupakan  indeks

Tatto dianggap sebagai identitas untuk menambah rasa percaya diri dan mengikuti tren. Perilaku dan atribut-atribut tersebut merupakan makna kaum hedonis
5.
Simbol yang ditunjukkan melalui tulisan yang dibuat Stella yang ditunjukkan kepada Biyan berupa kalimat I Love sex di kelas

Hal tersebut dapat diartikan sebagai perilaku hedonis yang ditunjukkan ketika Stella menyukai seks dan terbiasa melakukan hubungan seks secara bebas
6.
Simbol yang ditunjukkan dengan separuh bokong Biyan yang terlihat  karena memakai rok jins yang teramat mini
Penampilan dengan rok jins yang mini dianggap biasa walaupun sebenarnya penampilan seperti itu menurunkan harkat dan martabat wanita. Hal ini merupakan makna dari nilai-nilai hedonis
7.
Simbol yang muncul pada tokoh Marix sebagai seorang lelaki yang dilelang pada acara ulang tahunnya dengan harga tinggi agar penawar tertinggi dapat tidur bersama

Simbol ini memiliki arti penghambaan terhadap seks dapat dilakukan dengan segala cara demi mendapatkan kepuasan tersendiri
8.
Indeks yang ditunjukkan pada adegan seks yang dilakukan Ketie dengan seorang pria hidung belang di dalam toilet

Indeks ini dapat diartikan sebagai praktek seks bebas. Dengan melayani pria hidung belang ia akan mendapatkan uang yang banyak sebagai imbalannya
9.
Simbol yang ditunjukkan saat Stella mempotret payudaranya, Biyan, dan Ketie dengan menggunakan handphone Sony Ericsson

Simbol seperti ini mengandung makna bahwa kemajuan teknologi berupa handphone yang berkamera dapat digunakan seenaknya saja dan tidak sesuai dengan fungsi semestinya. Hal ini merupakan perilaku hedonis


Dari tabel diatas mencerminkan konstruksi nilai-nilai hedonis dalam film ”VIRGIN Ketika Keperawanan” Dipertanyakan untuk kategori budaya permissif terhadap segala hal sengaja dimunculkan sebagai budaya. Sebagaimana kita ketahui realitas yang dibangun oleh media (film) sesungguhnya hanya bagian kecil dari realitas yang sesungguhnya. Penggambaran yang kurang utuh menimbulkan penarikan kesimpulan oleh masyarakat yang tidak utuh pula. Bahayanya justru realitas simbolik ini kadang-kadang lebih dipercaya sebagai realitas yang sesungguhnya. Realitas film ”VIRGIN Ketika Keperawan Dipertanyakan” memuat budaya permissif terhadap segala hal sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai sakral dari Pancasila. Misalnya pada adegan seks yang dilakukan oleh Ketie sebagai seorang remaja dan sekaligus siswi SMA didalam toilet, mobil dan hotel bersama pria hidung belang. Ketie sebagai siswi SMA yang memiliki profesi ganda sebagai pelajar sekaligus sebagai wanita panggilan. Hal ini mengandung nilai-nilai hedonis seperti yang dinyatakan oleh Gunawan Prihantoro (Direktur Pusat Studi Remaja dan Perubahan Sosial) bahwa ”sex bebas adalah perilaku hedonis”.[29]

Selaras dengan pemikiran dari George Herbert Mead dengan teori interaksi simboliknya maka manusia belajar dengan melalui penggunaan simbol-simbol untuk dapat menerima sikap, nilai, dan rasa hati dimana dia berada dalam lingkungan sosialnya. Sehingga dalam konteks film ini, bisa saja menjadi tempat pembelajaran bagi masyarakat dalam arti luas sebagai ruang  untuk penerimaan nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini penerimaan nilai-nilai hedonis yang termuat dalam film ini dikhawatirkan menjadi contoh yang akan diikuti oleh masyarakatnya.

Visualisasi-visualisasi yang tampak dalam film ini melanggar nilai-nilai Pancasila seperti yang terkandung pada sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Khususnya pada butir pertama yang berbunyi: Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dan butir kedua yang berbunyi: Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut kemanusiaan yang adil dan beradab.[30]

Ikon Ketie sebagai remaja yang berprofesi sebagai wanita panggilan yang sedang melakukan adegan seks dengan pria hidung belang yang dimaknai sebagai sosok wanita hedonis dimana dalam usia remaja sudah mengenal dunia seks bebas dan mencari jalan untuk memenuhi rasa puas terhadap kebutuhan hidupnya dengan melayani pria hidung belang. Hal ini bertentangan dengan Pancasila yaitu Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, khususnya pada butir pertama yang berbunyi: Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusia seharusnya dapat memperlakukan sesamanya sesuai dengan harkat dan martabatnya, akan tetapi kelihatan sekali dalam adegan tersebut harkat dan martabat (Ketie sebagai wanita panggilan) tidak diperlakukan semestinya. Dan juga pada butir kedua yang berbunyi: Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya.   

Lebih jauh perilaku semacam ini tidak mencerminkan suatu perbuatan yang luhur yang mengacu kepada norma kesusilaan dan norma kesopanan yang terdapat dalam masyarakat seperti yang terkandung dalam sila kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Khususnya butir pertama yang berbunyi: Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Tabel 3: Penghambaan terhadap kebendaan
No.
Tanda
Makna
1.
Pakaian sekolah SMA yang mini dengan kancing terbuka sehingga  belahan dadanya terlihat merupakan tanda indeks

Seorang anak SMA telah melunturnya nilai-nilai kesopanan dalam berpakaian. Serta pihak sekolah lemah dalam menerapkan aturan-aturan kepada siswa-siswinya, hal tersebut merupakan makna adanya nilai-nilai hedonis
2.
Sehari-hari menggunakan tanktop (Pakaian dalam) di rumah dan bahkan diluar rumah yang dikenakan oleh orang tua maupun anaknya, hal tersebut merupakan tanda indeks
Menunjukkan bahwa berpakaian mini dianggap lazim disegala tempat. Padahal seharusya dirumah orang tua memberikan contoh pakaian-pakaian yang sopan dan pantas untuk dikenakan sehari-hari dan hal ini termasuk makna nilai-nilai hedonis
3.
Pakaian pesta yang mini dengan aksesoris seperti gelang yang mengikuti tren, perhiasan sebagai tindik yang dipasang dihidung merupakan tanda indeks


Tanda Indeks tersebut menunjukkan bahwa pemakaian atribut-atribut tersebut memuat nilai-nilai hedonis
4.
Penggunaan make-up ke sekolah yang berlebihan merupakan tanda simbol

Menunjukkan bahwa kebiasaan penggunaan make-up ke sekolah dianggap lazim dan tidak ada ketegasan peraturan sekolah dalam menerapkan kesederhanaan dalam berpenampilan ke sekolah. Hal ini dapat dikategorikan sebagai nilai-nilai hedonis
5.
Pria hidung belang yang menggunakan mobil mewah berupa VW terbaru dan bergaya exclusive dengan atribut perhiasan emas  serta memiliki uang yang melimpah merupakan tanda ikon

Menunjukkan bahwa dengan harta yang dimilikinya memberikan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dapat memenuhi keinginan dan kenikmatannya menunjukkan kaum hedonis
6.
Atribut-atribut yang dipakai oleh Marix seperti aksesoris kalung rantai, kaos oblong, celana jins, digemari para wanita-wanita seperti Biyan dan Luna, bahkan disukai para pria juga (kaum homoseksual). Hal tersebut merupakan tanda indeks

Dengan atribut-atribut yang dipakai pada tokoh Marix  tersebut memuat nilai-nilai hedonis.dan perilaku-perilaku seperti yang muncul dalam tanda indeks tersebut menunjukkan perilaku-perilaku hedonis


Sedangkan pada kategori yang kedua pada tabel di atas yaitu penghambaan terhadap kebendaan terdapat tanda (sign) yaitu melalui ikon, indeks, dan simbol serta makna (meaning) yang terkandung didalamnya menjurus kepada hal-hal yang menjadi ciri dari nilai-nilai hedonis. Sebagai contoh tampilan baju minimalis yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun di sekolah. Visualisasi tentang bagaimana siswi-siswi SMA yang penuh dengan aksesoris serta penggunaan make-up ke sekolah dan yang lebih kelihatan lagi adalah pemasangan perhiasan di hidung dengan cara tindik. Menurut Sobur “pakaian merupakan indikator yang tepat dalam menyatakan kepribadian dan gaya hidup seseorang dengan gaya pakaian tertentu”.[31] Secara tidak langsung pakaian tersebut menjadi identitas siswi-siswi SMA dalam film ini. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi tolak ukur bagi remaja-remaja lainnya dalam berpakaian. Gaya dan perilaku yang disimbolkan oleh film tersebut tentu saja sangat bertentangan dengan sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia khususnya butir ketiga yang berbunyi: Mengembangkan rasa cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air dimaknai tidak hanya secara harfiah tetapi mengandung makna yang lebih dalam lagi yaitu mencintai segala macam hal yang berciri ke-Indonesiaan termasuk dalam tata cara berpakaian yang menjunjung tinggi adat ketimuran dan nilai-nilai kesopanan. Disamping itu juga tidak sesuai dengan sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan khususnya butir pertama yang berbunyi: Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Tabel 4: Budaya kebebasan yang mengutamakan kesenangan fisik
No.
Tanda
Makna
1.
Membelanjakan uang sebesar Rp.10.000.000,- dengan membeli banyak pakaian, kacamata dan kosmetik menunjukkan simbol

penggunaan uang kepada hal-hal yang kurang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas diri, pemborosan, dan foya-foya merupakan makna nilai-nilai hedonis 
2.
Mengkonsumsi rokok di kawasan sekolah  menunjukkan tanda melalui simbol

Rokok telah dianggap biasa, tidak ada sedikitpun rasa mempertahankan kesehatan tubuh dan pihak sekolahpun tidak ada ketegasan dalam peraturan untuk siswanya tidak merokok. Padahal siswa dilarang merokok di kawasan sekolah. Hal ini menunjukkan nilai-nilai hedonis
3.
Mengkonsumsi minuman beralkohol


Minuman alkohol merupakan identifikasi pergaulan bebas dan menunjukkan nilai-nilai hedonis
4.
Membaca majalah untuk mengetahui perkembangan tren dimana yang dilihat hanya seputar gaya hidup dan tren dalam berpakaian merupakan indeks

Remaja lebih mementingkan tren gaya hidup dan secara perlahan melupakan pelajaran. Hal ini merupakan perilaku hedonis
5.
Stella menggunakan mobil mewah berupa pigeot 306 warna biru merupakan tanda yang berupa indeks

Anak sekolah sudah terbiasa dengan kemewahan orang tuanya, sehingga tingkat sosialisasinya rendah dan sikap sederhana telah luntur. Hal ini mengandung makna nilai-nilai dari hedonis
6.
Mengkonsumsi “seks” secara bebas, tidak sesuai aturan, dan bertentangan dengan hukum agama merupakan indeks

Sebagai sebuah pemenuhan kepuasan bukan suatu kebutuhan yang lazim dan hal ini merupakan makna nilai-nilai hedonis
7.
Melakukan aktifitas jalan-jalan di mall sepulang sekolah merupakan tanda yang berupa simbol

Menghabiskan waktu secara sia-sia, hanya untuk kesenangan, dan waktunya tersebut tidak digunakan secara efektif untuk belajar. Hal ini merupakan nilai-nilai hedonis
8.
Biyan, Stella dan Luna sering melontarkan kata-kata Anjing atau Bicth dan Fuck terhadap sesamanya. Dan hal ini merupakan tanda yang berupa simbol
Makin meluasnya bahasa gaul dan kasar  yang tidak pada tempatnya seiring dengan zaman yang semakin modern dan merupakan tanda kurangnya rasa nasionalisme terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini termasuk kedalam nilai-nilai hedonis
9.
Dalam bahasa verbal muncul ungkapan bagaimana Ketie akan menjual keperawanannya dengan bayaran yang mahal. Ketie: “Gw mau lepas keperawanan gw, Siapa aja yang berani bayar mahal” hal ini menunjukkan simbol

Ketie menukar keperawanannya dengan materi berupa uang dalam jumlah besar yang menurutnya akan memperoleh kenikmatan dan kesenangan dari uang tersebut dan hal ini merupakan makna nilai-nilai hedonis
10.
Dalam bahasa verbal muncul pula ungkapan ketika Stella dan Biyan mengetahui Ketie hamil karena menjadi WTS. Stella: “Ketie, lo tinggal minum pil peluntur trus lo loncat-loncat”, “lain kali lu harus main lebih cantik!” hal ini merupakan simbol Pemaknaan semacam ini, hal ini merupakan tanda yang berupa simbol

Ketie hamil karena perbuatannya sebagai wanita panggilan, ketie ketakutan, karena ia tidak ingin masa depan anaknya hancur seperti dia. Dengan menggugurkan kandungannya tersebut bagi Stella itu mudah dan selesai. Dan bagi Stella saat melakukan hubungan intim harus menggunakan alat pengaman yaitu kondom dan hal ini merupakan makna nilai-nilai hedonis
11.
Simbol yang ditunjukkan dalam bahasa verbal muncul pula ungkapan dari Luna: “Malam ini Marix  dilelang, siapa yang memberi tawaran yang paling tertinggi akan mendapatkan dia”

Yang dapat tidur dan bersama dengan Marix pada malam itu adalah penawar yang dapat melelang Marix dengan harga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melakukan seks bebaspun dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah pelelangan dan hal ini menunjukkan nilai-nilai hedonis
11.
Simbol yang ditunjukkan ketika Stella mengatakan kepada Biyan, “ada om cari perawan, dia berani bayar mahal, yah…umurnya ga terlalu tua sekitar empat puluhan, itupun kalo lo mau”

Karena harus mengganti mobil Cebol yang hilang dan butuh uang yang banyak, maka Stella menawarkan Biyan yang masih perawan untuk melepas keperawanannya. Dengan Biyan mau melayani om tersebut maka mereka dapat menggantikan mobil Cebol yang hilang. Hal tersebut merupakan usaha yang menyimpang, karena untuk mendapatkan uang mereka menempuh jalan yang salah dan hal ini merupakan makna nilai-nilai hedonis


Kemudian pada kategori yang ketiga yaitu budaya kebebasan yang mengutamakan kesenangan fisik merupakan cara-cara penggunaan waktu luang bukan hanya demi kebutuhan tetapi juga demi kepuasan diri mulai dari selera, gaya hidup dan lain sebagainya. Hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh David Chaney bahwa “konsumsi modern dicirikan dengan memasukkan pola-pola penggunaaan waktu luang masyarakat”.[32] Di dalam konsumsi yang ditandai dengan nilai citraan dan tanda tersebut logika yang mendasar. Pada tabel diatas nilai-nilai hedonis muncul ketika konsumsi modern yang dilakukan oleh para tokoh antara lain Biyan, Stella dan Ketie atas nama hasrat kepuasan diri, kemudian gaya hidup merokok dan seks bebas, serta konsumsi minuman beralkohol yang sudah menjadi kebiasaan  mereka dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal ini remaja sekarang akrab dengan kehidupan kota besar atau metropolis seperti di Jakarta, yang rutin mengunjungi tempat hiburan malam. 

Terdapat dua tempat yang memang sangat akrab dengan penghuni kota besar semisal Jakarta dan banyak pendapat yang mengatakan belum menjadi warga Jakarta apabila tidak pernah berkunjung ke tempat tersebut karena mengingat banyakanya tempat hiburan malam yang ada.[33]

Pengamatan lebih jauh pada penggunaan bahasa-bahasa verbal yang tidak sopan seperti Bitch atau Fuck. Makin meluasnya bahasa gaul dan kasar  yang tidak pada tempatnya seiring dengan zaman yang semakin modern dan merupakan tanda kurangnya rasa nasionalisme terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar Dalam tatanan masyarakat Indonesia hal ini merupakan hal yang tabu untuk diucapkan karena melanggar nilai-nilai kesopanan terutama pada sila kedua yaitu Kemanusian Yang Adil dan Beradab, khususnya pada butir pertama yang berbunyi: Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Dari keseluruhan tanda (sign) yang berupa ikon, indeks, dan simbol serta makna (meaning) yang tampak dalam kategori ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila antara lain sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa butir pertama yang berbunyi: Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dan juga bertentangan dengan sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia pada butir pertama yang berbunyi: Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan dan butir ketujuh yang berbunyi: Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.

      Moralitas hedonis diajarkan dengan begitu menawan oleh karakter-karakter dalam program-program media yang menawarkan gaya hidup serba wah dan serba kemilau, serba menyenangkan.[34] Media massa seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mempengaruhi dan mengubah opini masyarakat. Karena bagaimanapun media massa masih dianggap sebagai media yang mampu mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dengan manipulasi perbuatan realitas simbolik. Realitas simbolik seperti ini yang tergambar jelas bisa dianggap oleh masyarakat sebagai obyektif dan pada akhirnya ditiru oleh masyarakat yang belum sepenuhnya melek media. Sehingga nilai-nilai hedonis yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila ada kemungkinan untuk ditiru terutama bagi masyarakat yang belum sepenuhnya melek film.

Karakter remaja yang ditampilkan dalam film ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” merupakan remaja yang terbiasa dengan gaya hidup enak dengan segala kemudahan. Hal tersebut selaras dengan yang dikatakan Sarlito Wirawan Sarwono bahwa ”yang menjadi masalah adalah bahwa pada sejumlah kawula muda, gaya hidup enak dengan segala kemudahannya, sudah menjadi kebiasaan yang semakin lama makin mengakar”.[35]

B.     Simpulan

Berangkat dari analisis permasalahan diatas maka dapat ditemukan simpulan-simpulan sebagai berikut:
  1. Film ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” didominasi dengan pesan-pesan yang bermuatan nilai-nilai hedonis;
  2. Film ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” menunjukkan visualisasi-visualisasi yang mengandung budaya hedonis seperti budaya permissif terhadap segala hal, penghambaan terhadap kebendaan, budaya kebebasan yang mengutamakan kesenangan fisik;
  3. Film ”VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan” mengisyaratkan adanya dekadensi moral pada kalangan remaja metropolis yang bertentangan pada nilai-nilai Pancasila dan norma-norma yang berada di dalam masyarakat.
C.  Saran

Dalam rangka menumbuhkan daya saing bangsa untuk pembangunan berkelanjutan,  maka penulis menawarkan beberapa saran sebagai berikut:
  1. Mengembangkan fasilitas-fasilitas yang bermanfaat untuk dapat melahirkan film-film yang lebih mengarah pada nilai-nilai luhur seperti yang terkandung dalam ideologi bangsa yaitu Pancasila.
  2. Mengembangkan koordinasi antara insan-insan perfilman untuk menciptakan film-film yang edukatif. Menumbuhkan kreatifitas para insan film dalam memproduksi film yang dapat diterima pasar namun edukatif.
  3. Mengembangkan peran aktif dari pemerintah untuk mengawasi dan menumbuh kembangkan  film nasional di Indonesia yang edukatif dan diterima pasar.
  4. Mengembangkan “melek film” (film literacy) yaitu kemampuan melakukan seleksi untuk mengkonsumsi film di kalangan masyarakat dengan mengadakan penyuluhan, seminar maupun talk show yang berkenaan dengan melek film. Serta menumbuh kembangkan peran dari tokoh masyarakat sebagai opinion leader dalam melakukan sosialisasi terhadap nilai-nilai luhur Pancasila dan norma yang berlaku dalam masyarakat. 
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abrar, Ana Nadhya, 2005, Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Adoni, Hanna & Mane, Sherill. 1984. Media and The Social Construction of Reality: Toward an Integration of Theory and Research, dalam Communication Research vol 11 no 3.  London: Sage Publications Inc.
Cangara, Hafied, 2006, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effendi, Onong Uchjana, 2000, Ilmu Komunikasi dan Praktek, Bandung: Rosdakarya.
Eriyanto, 2000. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Fiske, John, 1990, Culture and Communication Studies, Yogyakarta: Jalasutra.
Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, ed.5th, New York: McGraw, Hill.
Ibrahim, Idi Subandy, 2003, Lifestyles Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra.
___________________, 2004, Sirnanya Komunikasi Empatik: Krisi Budaya Komunikasi Dalam Masyarakat Kontemporer, Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Indra, Doni, & Veri, Sanovri, & Arif, Lutfiah Nursandi, & FR, Susi Kristanti, 2004, Gaya Hidup Veri Kia, Mawar cs Yang Belum Pernah Terungkap di Media, Jakarta: Majalah Prospektif & Inves Media Group.
Liliweri, Allo, 2001, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Budi, Setio, 2000, Analysis Media alih bahasa, Yogyakarta: Universitas Atmajaya. 
McQuail, Dennis. 1987. Teori-teori Komunikasi. Jakarta: Erlangga.
Morissan, 2004, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Bogor: Ghalia Indonesia.
Pandjaitan, Hinca IP, dan Aryani, Dyah, 2001, Melepas Pasung Kebijakan Perfilman Indonesia: catatan untuk Undang-undang Perfilaman Baru. Jakarta: Warta Global Indonesia.
Rivers, William L. et, al, 2004, Media  Massa & Khalayak Modern, terjemahan edisi kedua, Jakarta: Prenada Media.
Sutopo, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press.
Severin, Werner J & Tankard, James W, 2005, Teori-Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Jakarta: Prenada.
Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung: Rosdakarya.

Tesis

Kartikawati, Dwi, 2005, Media Berdagang Bintang: Analisis Wacana Kritis Terhadap Komodifikasi Gaya Hidup Para Bintang Akademi Fantasi Indosiar di Tabloid TV Gaul, Jakarta: Universitas Indonesia.
Prakosa, Adi. 2003, Kanalisasi Pres Dalam Konflik Politik di Lembaga Legislatif: Analisis Semiotik Terhadap Berita Pertanggungjawaban Akhir Tahun 2002 Bupati Sukoharjo Pada Harian Suara Merdeka dan Solo Pos, Surakarta: UNS Press.
Jurnal
Rahmat, Jalaludin, 1991, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Menuju Paradigma Baru Penelitian Komunikasi, Kritik Paradigma Pasca-Positivisme Terhadap Positivisme, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rochadi, Sigit, 1997, Perubahan Nilai di Kota Besar: Telaah Atas Hedonisme, Perilaku Seks dan Aborsi Remaja, Jurnal Sosiologika, Jakarta: UNAS Press
Media

http://blog.kenz.or.id/2006/06/01/45-butir-pengamalan-pancasila.html
http://www.indosinema.com/interview/common/3
http://www.islam.gov.myislamhadhari/Keutuhan Budaya dan Moral, Tan Sri Prof Dr Mohd Kamal bin Hasan,2004
http://www.isola.pos-.upi.edu/ Benang Kusut Pornografi, Ina Herlina
http://www.media-black metal-msia.com/ budaya hedonis dalam media
http://www.media-indonesia.com/resensi/details.asp?id=9
http://www.suaramerdeka.com,Daya Dobrak Budaya Populer, Kamis, 15 Desember 2005
http://www.theceli.com/dokumen/produk/produk/1992/uu8-1992.htm
DVD, 2005, VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan, Jakarta:PT. Kharisma Starvision Plus



[1]       Hafied Cangara, 2006, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, halaman 126.
[2]       Film merupakan salah satu jenis media audiovisual. Sifat dari media ini adalah sebagai berikut: dapat didengar dan dilihat; dapat dilihat dan didengar kembali; daya rangsang sangat tinggi (Morissan, 2004, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Bogor: Ghalia Indonesia, halaman 5.
[3]       http://www.indosinema.com/interview/common/3
[4]     http://www.media-indonesia.com/resensi/details.asp?id=9
[5]       William L Rivers, 2004,  Media & Khalayak Modern, Jakarta: Prenada Media, halaman 332.
[6]     UU Perfilman tahun 1992. Pasal 3 point h: penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan berkhalayak, berbangsa, dan bernegara; Pasal 4: Perfilman di Indonesia dilaksanakan dalam rangka memelihara dan mengembangkan budaya bangsa dengan tujuan menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. (http://www.theceli.com/dokumen/produk/produk/1992/uu8-1992.htm).

[7]       Allo Liliweri, 2001, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 74.
[8]       Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, ed.5th, New York: McGraw, Hill, halaman 57.
[9]       Ibid.  h. 59-61
[10]     Hanna Adoni & Sherill Mane, 1984, Media and The Social Construction of Reality:Toward an Integration of Theory and Research, dalam Communicaton Research vol 11 no 3 London: Sage Publications Inc, halaman 33.

[11]     Eriyanto.  2000,  Analisis Wacana, Yogyakarta: LKiS,  halaman 114.
[12]     Mc Quail, Dennis, 1996, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, PT Gelora Aksara Pratama, edisi keempat, halaman 260.
[13]     Werner J. Severin & James W. Tankard, 2005, Teori-Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Jakarta: Prenada, halaman 389.
[14]     Sigit Rochadi, 1997, Perubahan Nilai di Kota Besar: Telaah Atas Hedonisme, Perilaku Seks dan Aborsi Remaja, Jurnal Sosiologika, Jakarta: UNAS Press, halaman 24.
[15]     Dwi Kartikawati, 2005, Media Berdagang Bintang: Analisis Wacana Kritis Terhadap Komodifikasi Gaya Hidup Para Bintang Akademi Fantasi Indosiar di tabloid TV Gaul, Jakarta: Universitas Indonesia, halaman 10.
[16]     http://www.suaramerdeka.com,Daya Dobrak Budaya Populer, Kamis, 15 Desember 2005, halaman 1.
[17]     http://www.isola.pos-.upi.edu/ Benang Kusut Pornografi, Ina Herlina, halaman 1.
[18]    http://www.islam.gov.myislamhadhari/Keutuhan Budaya dan Moral, Tan Sri Prof Dr Mohd Kamal bin Hasan,2004, halaman 1.
[19]     Onong Uchjana Effendi, 2000, Ilmu Komunikasi dan Praktek, Bandung: Rosdakarya, halaman 11.
[20]     Alex Sobur, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, halaman 126 – 127.
[21]     Ana Nadhya Abrar mengelompokkan metode penelitian komunikasi menjadi dua. Yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Jenis metode kuantitatif terdiri sebagai berikut: survei, analisis isi, kuasi eksperimental. Sedangkan jenis metode kualitatif meliputi etnografi, analisis wacana, studi kasus. (Ana Nadhya Abrar, 2005, Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: UGM Press, halaman 50-51).
[22]     Adi Prakosa. 2003, Kanalisissi Press Dalam Konflik Politik di Lembaga Legislatif. Surakarta: UNS Press
[23]     Sutopo, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press, halaman 72.
[24]     Jalaludin Rahmat, 1991, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Menuju Paradigma Baru Penelitian Komunikasi, Kritik Paradigma Pasca-Positivisme Terhadap Positivisme, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, halaman 68.
[25]     Ana Nadhya Abrar meyakini teknik analisis data pada metode kualitatif analisis wacana terdiri dari analisis semiotika, analisis framing, dan analisis wacana kritis. (Ana Nadhya Abrar, Op.cit., halaman 42).
[26]     Fiske mengartikan semiotika sebagai ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam teks media, atau studi tentang bagamana tanda dari jenis karya apapun dalam khalayak yang mengkomunikasikan makna. (John Fiske, 1990, Culture and Communication Studies, Yogyakarta: Jalasutra, halaman 37).
[27]     John Fiske, 1990, Cultural And Communication  Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Kata Pengantar Idi Subandy Ibrahim, Jakarta: Jalasutra, halaman 67.
[28]     Ibid.
[29]     http//www.suaramerdeka.com/harian/6503/07/ban09.htm
[30]    http://blog.kenz.or.id/2006/06/01/45-butir-pengamalan-pancasila.html
[31]  Alex Sobur, Op.cit., halaman 175.
[32]     Idi Subandy Ibrahim, 2003, Lifestyles Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra, halaman 152.
[33]     Doni Indra & Sanovri Veri, & Lutfiah Nursandi Arif, & Susi Kristanti FR, 2004, Gaya Hidup Veri,Kia, Mawar cs Yang Belum Pernah Terungkap di Media, Jakarta: Majalah Prospektif & Inves Media Group.
[34]     Idi Subandy Ibrahim, 2004, Sirnanya Komunikasi Empatik: Krisi Budaya Komunikasi Dalam Masyarakat Kontemporer, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, halaman 85.
[35]     Idi Subandy Ibrahim, op.cit., halaman 194.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar