Having a plan is the best way to make a life change. It's the difference between a goal and a wish

Senin, 25 April 2011

Pengaruh Program Acara "Kekerasan dan Pornografi" dalam Media Televisi


Televisi mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Dengan melihat, orang menjadi lebih percaya. Apa yang tampak di televisi dianggap sebagai realitas bermakna. 
Berhubungan dengan ini, saya mencoba menganalisis dampak program kekerasan dan pornografi dalam isi siaran televisi yang lebih menekankan pengaruhnya terhadap anak-anak.

Dewasa ini, media televisi sangat memengaruhi anak-anak dengan program-programnya yang banyak menampilkan adegan kekerasan, hal-hal yang terkait dengan seks, mistis, dan penggambaran moral yang menyimpang. Tayangan televisi yang sangat liberal membuat tidak ada lagi jarak pemisah antara dunia orang dewasa dan anak-anak. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara liberal, namun juga di negara-negara berbudaya timur, karena besarnya infiltrasi media televisi di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain, anak-anak zaman sekarang memiliki kebebasan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa.  Masih ada stasiun televisi yang tidak menyesuaikan jam tayangnya dengan kegiatan wajib anak. Sekolah, tidur siang, maupun belajar, terganggu karena anak ingin menonton televisi. Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Mayke S Tedjasaputra, mengungkapkan bahwa televisi semakin menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Televisi terdapat di ruang tamu, ruang tidur, ruang tidur anak, dapur, bahkan di garasi. Sejak bangun pagi, televisi sudah dinyalakan dan dikonsumsi. sebaiknya anak yang berusia 0-3 tahun sama sekali tidak boleh menyaksikan televisi. Karena menurut penelitian di Amerika Serikat, anak usia satu tahun yang mengonsumsi televisi selama tiga jam sehari dapat stimulus berlebihan. Akibatnya, konsentrasi anak akan terganggu saat mengerjakan sesuatu. Pada anak usia di bawah lima tahun, stimulus akan diterima oleh sistem limbic. Reaksinya ialah menyerang balik atau takut. Muncullah sifat agresif atau impulsif, termasuk mengikuti adegan yang berbahaya di televisi. Walaupun bukan media interaktif bagi anak-anak, televisi termasuk medium yang sangat diminati oleh mereka. Ini karena televisi bersifat audio visual, mampu menghadirkan kejadian, peristiwa, atau khayalan yang tak terjangkau pancaindra ke dalam ruangan atau kamar anak-anak. Anak-anak juga mampu mengingat 50 persen dari apa yang mereka lihat dan dengar kendati ditayangkan sekilas. Posisi anak-anak atas tayangan televisi memang sangat lemah. Hal ini berkaitan dengan sifat anak yang di antaranya:

1.      Anak sulit membedakan mana yang baik atau buruk serta mana yang pantas ditiru atau diabaikan;
2.      Anak tidak memiliki self-censorship dan belum memiliki batasan nilai;
3.      Anak nonton bersifat pasif dan tidak kritis. Akibatnya, semua yang ditayangkan akan dianggap sebagai sebuah kewajaran.

Sifat-sifat itu tentu saja sangat rentan apabila tayangan film, kartun, sinetron, infotainment, kuis atau video klip mengandung adegan antisosial seperti kekerasan dan pornografi. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan dan pornografi juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal dan infotainment. TV swasta di Indonesia terkadang lebih "kejam" dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban dan adegan-adegan ”syur”. Hasil penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH) pada 1.403 anak sekolah dasar di 21 sekolah di Jakarta periode Januari 2006-Juni 2007 menunjukkan bahwa akses pornografi terbesar anak-anak setelah komik (21 persen) adalah melalui film/sinetron di TV yaitu sebesar 20 persen. Apabila ditarik lebih ke belakang, pemeriksaan terhadap isi televisi dilakukan karena ada kepercayaan yang tinggi bahwa media terutama televisi memiliki pengaruh kuat pada penontonnya. Dalam kajian komunikasi yang klasik dan dominan, "pengaruh media" mengalami pasang surut. Akan tetapi, secara umum, teori efek media telah beranjak dari limited-effects di tahun 1950-1960-an ke powerful-effects di tahun 1980-1990-an. Alhasil, sebagian besar ahli komunikasi masa kini percaya media memiliki kekuatan besar memengaruhi khalayak. Kekerasan dan pornografi yang muncul di layar kaca juga memungkinkan anak berpikir bahwa kekerasan dan pornografi adalah hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, mereka bisa melakukan kekerasan, tanpa merasa bersalah dan tidak menutup kemungkinan mencoba adegan-adegan yang ditayangkan dengan teman-temannya. Anak-anak juga menjadi terbiasa berteriak, mengeluarkan kata-kata yang tak pantas, karena itulah yang mereka lihat dan dilakukan orang-orang dewasa di TV. Tidak dapat dipungkiri bahwa TV telah menjadi referensi anak-anak dalam berinteraksi, bersikap, dan berperilaku dalam kelompok bermain, yang kadang bertentangan dengan hal-hal yang bersifat normatif yang berasal dari otangtua, sekolah dan budaya. Anak-anak adalah salah satu target utama berbagai tayangan televisi, setelah remaja.

Isi siaran harus sesuai dengan asas penyelenggaraan penyiaran, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dan harus pula sesuai dengan asas penyelenggaraan penyiaran yaitu asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Selain itu UU ini menegaskan bahwa isi siaran harus pula sesuai dengan fungsi penyelenggaraan penyiaran yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial serta fungsi ekonomi dan kebudayaan. Selain itu, isi siaran wajib memberikan perlindungan danpemberdayaan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan program acara yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Isi siaran juga wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu, bahkan isi siaran dilarang:

1.      Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong;
2.      Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
3.      Mempertentangkan suku, agama dan antargolongan.

Meski diakui, di sisi lain tayangan televisi sebenarnya memiliki manfaat positif, misalnya, anak bisa belajar bahasa lewat TV, film-film dokumenter bisa menambah pengetahuan anak tentang ilmu, sejarah, maupun geografi. Tentu saja, nilai positif TV itu bisa diperoleh anak-anak, bila acara yang ditampilkan pun sesuai dengan kebutuhan mereka. Acara Discovery merupakan salah satu program tayangan yang bernilai positif untuk anak-anak.

Pada setiap program penyiaran yang ditayangkan di televise, terdapat satu lembaga negara yang bersifat independent yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran, dibentuk sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi untuk mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Seperti diberitakan media massa, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertindak keras terhadap stasiun televisi nasional yang masih menayangkan acara kekerasan, pornografi, mistik, dan jurnalisme yang memihak. KPI sudah mampu memantau dan merekam siaran televisi nasional serta lokal (Jakarta) selama 24 jam. Semua tayangan dianalisis secara cermat dari detik ke detik. Hasil sementara, ditemukan banyak pelanggaran oleh televisi nasional, khususnya kekerasan, mistik, seks, dan talkshow yang berat sebelah. Korban kekerasan, korban perkosaan, pelaku bunuh diri, pelaku seks, penjahat dieksploitasi secara vulgar. Sementara goyang sensual dan perempuan berbusana minim bertebaran di mana-mana. Pada tahap pertama, media televisi akan dimintai klarifikasi atas tayangan-tayangan pelanggar etika tersebut. Mereka akan diminta untuk menghentikan seks, kekerasan, mistik, dan sejenisnya. Bila masih membandel, KPI akan mengajukan para pelanggar tindak pidana tersebut ke Polri. KPID Jabar akan menyampaikan keberatan-keberatan terhadap tayangan yang dinilai tidak sesuai dengan budaya masyarakat daerah. Upaya menghapus siaran kekerasan di layar kaca oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI tidak berhenti pada pencabutan tayangan Smackdown. Siaran kekerasan yang berpengaruh buruk pada masyarakat akan dijadikan kasus pidana oleh KPI dan kepolisian.

Sedikitnya ada empat pihak yang terlibat dalam permasalahan ini. Yang pertama adalah Komisi Penyiaran Indonesia. Di samping peran lembaga independen ini untuk melakukan pengawasan atas isi siaran yang sangat krusial, peran untuk mensosialisasikan dan mengembangkan forum Lembaga Pengawas Media (Media Watch) sangatlah penting untuk dilakukan. Undang-Undang Nomor 32/2002 yang menjadi payung bekerjanya lembaga ini mengamanatkan adanya partisipasi publik dalam pengawasan isi siaran. Sejujurnya ini adalah bagian dari langkah untuk mendewasakan masyarakat kita, sekaligus untuk menumbuhkan kesadaran self-censorship’’ yang belum terbentuk di masyarakat kita. Di sisi lain KPI pun perlu untuk secara periodik mengomunikasikan kepada publik respon televisi terhadap teguran KPI terkait dengan program dan isi siaran yang bermasalah, bagaimana perbaikan yang dilakukan, dan sebagainya. Tayangan mistik keagamaan misalnya, sangat meresahkan, karena tidak mampu mengundang efek jera dengan jalinan cerita dan tampilannya yang serba over. Namun tayangan dengan kemasan seperti ini makin banyak muncul di berbagai stasiun televisi. Apakah ini hukum rating yang lantas membuat stasiun televisi tetap kukuh untuk menayangkan acara - acara sejenis. Masalah lain yang tak kalah penting adalah bagaimana KPI mampu menyandingkan regulasi penyiaran yang dibuat dengan LSF. Ada berbagai kendala yang muncul dalam hal isi siaran, Sensor LSF tidak memotong kata-kata kasar, jorok, dan umpatan, seperti misalnya: kurang ajar, bangsat, bajingan, dan sebagainya. Celakanya umpatan ini bahkan dikeluarkan oleh anak-anak berseragam merah putih di lingkungan sekolah yang menjadi setting cerita. Ada kategori sensor yang berbeda antara LSF dan yang diatur dalam SPS. Bahwa kesopanan, kepantasan dan kesusilaan yang menjadi tolok ukur dari tayangan seperti yang diatur dalam SPS tidak dikenal dalam LSF. Di masa depan dibutuhkan kerjasama antarlembaga untuk menyamakan persepsi ini.

Yang kedua adalah orang tua. Pengawasan orang tua (parental guiding) yang selama ini dilakukan secara sadar oleh para orang tua di luar negeri, karena ketiadaan pengasuh atau pembantu rumah tangga, tidak dilakukan di Indonesia. Pengasuhan anak-anak sebagian besar atau sepenuhnya diserahkan kepada pembantu dan babby sitter, sehingga sepanjang hari waktu mereka diisi hanya dengan kegiatan menonton televisi. Inilah yang kemudian menjadi dasar munculnya hari tanpa televisi yang didengungkan oleh para aktivis anak pada Hari Anak Nasional yang akan datang. Intinya adalah, bagaimana orang tua mampu membuat acara keluarga, dan anak-anak bermain kreatif dengan teman-teman mereka dan tidak semata bergantung pada televisi. Orangtua berperan dalam membangkitkan kreatifitas anak, membiasakan mereka mengisi waktu senggang dengan membaca bersama, mendongeng, bermain bersama, ngobrol, memasak bersama, bercanda tanpa harus terpekur di depan televisi. Jika ayah dan ibu bekerja, maka parental guiding dapat dilakukan sepulang orang tua dari kantor. Namun ini menuntut konsistensi orang tua untuk tidak memanjakan diri mereka dengan segera menonton televisi untuk melepas lelah sepulang dari bekerja. Dengan demikian, orang tua mengajarkan pada anak untuk bertanggung jawab menyeleksi dan menyusun jam menonton televisi mereka sehingga anak-anak pun akan menjadi penonton yang aktif, cerdas dan dewasa.

Yang ketiga adalah sekolah melalui forum students’ media watch. Forum ini merupakan wujud pendidikan melek media yang difasilitasi oleh sekolah dan pendidik. Dalam perjalanannya, peran KPI sangat penting untuk bersama-sama mengkampanyekan melek media di seluruh lapisan masyarakat. Orang tua bersama-sama dengan sekolah sebagai bagian dari masyarakat dituntut untuk berpartisipasi aktif, karena UU Penyiaran Bab VI pasal 52 ayat (3) memberi peluang agar masyarakat dapat mengontrol penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan media penyiaran. 

Yang keempat adalah industri, yang karena hukum rating menjadi sulit untuk menentukan pilihan dalam menayangkan acara yang benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan sekedar keinginan mereka dan bukan pula sekedar memenuhi keinginan pemasang iklan. Seperti halnya penonton kita yang harus beranjak dewasa demikian pula dengan industri pertelevisian kita yang juga harus dewasa dalam melihat bagaimana kerja rating mengontrol hidup industri sehingga meninggalkan nilai-nilai penting dan fungsi media dalam masyarakat untuk menjamin hak-hak mereka mendapatkan informasi yang bermutu, akurat, serta tayangan yang sehat dan mencerdaskan.

Stasiun televisi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan sekaligus meningkatkan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat, termasuk mendidik anak-anak.

Jadi, prinsip yang harus dipegang adalah: "Jika dirasakan merugikan, matikan televisi Anda sekarang juga....!!!.

(Tulisan ini merupakan salah satu tugas perkuliahan mata kuliah Pers dan Kode Etik saat penulis menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi UNAS, Jakarta) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar